Siang menjelang sore ini,
aku kembali mengintip seorang gadis jelita dari suatu tempat. Ia memandang jauh
ke samudra yang memantulkan bias biru di matanya. Ah! Ia semakin menawan.
Bulir-bulir bening kembali
menggelincir di pipinya yang terbakar mentari. Ingin sekali kurengkuh dalam
dekapku. Namun, tak mungkin bisa.
"Ibu? Kapan Ibu
menemani Arimbi lagi? Lihat Ibu! Rambut Arimbi tidak ada yang menyisir,"
ujarnya dalam diam disertai isak. "Kenapa Ibu ninggalin Arimbi sendirian?"
tambahnya.
Perkataan yang sama setiap
hari, selama sepuluh tahun. Tak ada lagi yang dikatakannya selain itu. Ia
ulang-ulang sampai waktu pulang menjelang.
"Ayah melakukannya
lagi pada Arimbi, Bu."
Ombak berdebur kencang hari
ini, angin pun sedang tak bersahabat. Arimbi membersihkan sedikit pasir yang
menempel pada roknya. Ia pulang lebih awal dari biasanya.
Di perjalanan, seperti
biasa ia bersenandung. Melagukan apa saja yang ia mampu. Sejak kepergian
ibunya, jiwa Arimbi terguncang.
Dewina, Ibu Arimbi meninggal
dihakimi warga kampung. Dewina dituduh berselingkuh dengan Kepala Desa. Istri
Pak Kades geram, dikumpulkannya warga kampung untuk menghabisi nyawa Dewina.
Orang-orang kampung menyeret Dewina dengan paksa saat sedang tidur bersama
Arimbi.
"Apa ini? Kalian mau
apa?" tanyanya.
"Dasar wanita
murahan!" Warga bersautan menumpah-serapah dengan kasar.
Dewina diarak bersama Pak
Kades. Pakaian mereka dilucuti dengan paksa. Lalu, mereka dibakar hidup-hidup
dan mayat mereka ditenggelamkan di laut.
Arimbi melihat semua
kejadian itu saat berusaha mencari ayahnya. Ia histeris hingga pita suaranya
putus dan ia bisu. Tak ada yang mengerti perkataannya, selain aku.
Sesampainya di rumah, tanpa
ragu, ia langsung masuk ke rumah mencari sosok ayahnya. Namun, di ruang tamu
dan dapur tidak ada. Lamat-lamat, ia mendengar suara perempuan. Ia dekati
sumber suara. Semakin dekat semakin jelas bahwa itu suara perempuan.
"Ibu...."
Dibukanya pintu itu, namun,
ia kaget bukan main. Mata sebiru samudranya membulat. Di hadapannya tersuguh
pemandangan menyakitkan. Ayahnya tengah bergumul dengan Istri mantan Pak Kades.
Arimbi berlari ke arah
dapur, diambillah sebilah pisau. Lalu, ia kembali masuk ke kamar ayahnya. Tanpa
pikir panjang, ia tikam dada ayahnya, berkali-kali!
Bu Kades lari tanpa sehelai
sebenang pun. Arimbi tak peduli. Ia terus menikamkan pisau itu.
"Rasakan! Kau membunuh
Ibu! Kau juga selalu melampiaskan nafsu binatangmu padaku. Kini, aku tidak
takut lagi!" racaunya dalam diam. Matanya yang bagiku selalu biru, kini
meluapkan amarah memuncak.
Setelah ayahnya tak
bernapas lagi, ia lari ke tempat merenungnya selama ini. Dipandangi lautan itu
beberapa menit. Lalu, perlahan ia melangkahkan kakinya ke lautan. Semakin ke
tengah dan akhirnya ia lenyap.
Aku ingin mencegahnya.
Namun, apa dayaku. Aku hanya seekor Crypsirina Temia*. Mataku yang biru telah
menyaksikan adegan demi adengan hidup perempuan bermata samudra. Ia dihianati
nasib. Kini, ia pergi. Tak 'kan kembali. Menemui ibunya yang telah lama pergi.
*
Crypsirina Temia: Burung Tangkar Cetrong atau dikenal juga sebagai Murai Irian.
Termasuk famili gagak-gagakan. Bulunya berwarna abu gelap dengan ekor
menyerupai sendok dan matanya berwarna biru.
Ini karya saya!!! Kenapa bisa ada di sini? Kenapa gak izin terlebih dahulu sebelum memposting? Dan karya-karya yang lain juga?
BalasHapus