Rabu, 10 Desember 2014

Perempuan Bermata Samudra

Siang menjelang sore ini, aku kembali mengintip seorang gadis jelita dari suatu tempat. Ia memandang jauh ke samudra yang memantulkan bias biru di matanya. Ah! Ia semakin menawan.
Bulir-bulir bening kembali menggelincir di pipinya yang terbakar mentari. Ingin sekali kurengkuh dalam dekapku. Namun, tak mungkin bisa.
"Ibu? Kapan Ibu menemani Arimbi lagi? Lihat Ibu! Rambut Arimbi tidak ada yang menyisir," ujarnya dalam diam disertai isak. "Kenapa Ibu ninggalin Arimbi sendirian?" tambahnya.
Perkataan yang sama setiap hari, selama sepuluh tahun. Tak ada lagi yang dikatakannya selain itu. Ia ulang-ulang sampai waktu pulang menjelang.
"Ayah melakukannya lagi pada Arimbi, Bu."
Ombak berdebur kencang hari ini, angin pun sedang tak bersahabat. Arimbi membersihkan sedikit pasir yang menempel pada roknya. Ia pulang lebih awal dari biasanya.
Di perjalanan, seperti biasa ia bersenandung. Melagukan apa saja yang ia mampu. Sejak kepergian ibunya, jiwa Arimbi terguncang.
Dewina, Ibu Arimbi meninggal dihakimi warga kampung. Dewina dituduh berselingkuh dengan Kepala Desa. Istri Pak Kades geram, dikumpulkannya warga kampung untuk menghabisi nyawa Dewina. Orang-orang kampung menyeret Dewina dengan paksa saat sedang tidur bersama Arimbi.
"Apa ini? Kalian mau apa?" tanyanya.
"Dasar wanita murahan!" Warga bersautan menumpah-serapah dengan kasar.
Dewina diarak bersama Pak Kades. Pakaian mereka dilucuti dengan paksa. Lalu, mereka dibakar hidup-hidup dan mayat mereka ditenggelamkan di laut.
Arimbi melihat semua kejadian itu saat berusaha mencari ayahnya. Ia histeris hingga pita suaranya putus dan ia bisu. Tak ada yang mengerti perkataannya, selain aku.
Sesampainya di rumah, tanpa ragu, ia langsung masuk ke rumah mencari sosok ayahnya. Namun, di ruang tamu dan dapur tidak ada. Lamat-lamat, ia mendengar suara perempuan. Ia dekati sumber suara. Semakin dekat semakin jelas bahwa itu suara perempuan.
"Ibu...."
Dibukanya pintu itu, namun, ia kaget bukan main. Mata sebiru samudranya membulat. Di hadapannya tersuguh pemandangan menyakitkan. Ayahnya tengah bergumul dengan Istri mantan Pak Kades.
Arimbi berlari ke arah dapur, diambillah sebilah pisau. Lalu, ia kembali masuk ke kamar ayahnya. Tanpa pikir panjang, ia tikam dada ayahnya, berkali-kali!
Bu Kades lari tanpa sehelai sebenang pun. Arimbi tak peduli. Ia terus menikamkan pisau itu.
"Rasakan! Kau membunuh Ibu! Kau juga selalu melampiaskan nafsu binatangmu padaku. Kini, aku tidak takut lagi!" racaunya dalam diam. Matanya yang bagiku selalu biru, kini meluapkan amarah memuncak.
Setelah ayahnya tak bernapas lagi, ia lari ke tempat merenungnya selama ini. Dipandangi lautan itu beberapa menit. Lalu, perlahan ia melangkahkan kakinya ke lautan. Semakin ke tengah dan akhirnya ia lenyap.
Aku ingin mencegahnya. Namun, apa dayaku. Aku hanya seekor Crypsirina Temia*. Mataku yang biru telah menyaksikan adegan demi adengan hidup perempuan bermata samudra. Ia dihianati nasib. Kini, ia pergi. Tak 'kan kembali. Menemui ibunya yang telah lama pergi.


* Crypsirina Temia: Burung Tangkar Cetrong atau dikenal juga sebagai Murai Irian. Termasuk famili gagak-gagakan. Bulunya berwarna abu gelap dengan ekor menyerupai sendok dan matanya berwarna biru.



1 komentar:

  1. Ini karya saya!!! Kenapa bisa ada di sini? Kenapa gak izin terlebih dahulu sebelum memposting? Dan karya-karya yang lain juga?

    BalasHapus