Selasa, 30 Desember 2014

Gendis

Apa yang hendak kuceritakan di sini? Seorang wanita buta yang memangku rembulan? Tidak.Kesannya tidak seflamboyan itu. Menarik. Itulah satu kata sederhana yang menggambarkan seperti apa dirinya.
Saat itu aku sedang makan di angkringan Kang Irul ketika kemudian dia mencomot gorengan dari tumpukan.
“Gimana tugas buat besok?”
“Eh, maaf?”
“Tugas statistik. Kita sekelas, bukan?”
Aku tahu betul kami ambil mata kuliah yang sama. Apa yang membuatku terkejut adalah kenyataan bahwa gadis dengan reputasi sangat angkuh, sudi menyapaku lebih dulu.
Apa yang terjadi di bawah payungan tenda biru angkringan Kang Irul sore itu, mengubah persepsiku mengenainya. Entah bagaimana caranya, obrolan mengalir sedemikian lancar saat itu dan hari-hari selanjutnya. Penilaian kawan-kawanku ternyata keliru, Gendis bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Dirinya seperti kamus berjalan, segala hal ia ketahui. Dari Lenin sampai keluarga Bakrie, Shakespeare sampai Goenawan Mohammad, sebut saja. Apa yang kutangkap darinya adalah keganjilan dari simbol Bulan Trilipat; sosoknya masih gadis tapi kedewasaannya sampai pada fase nenek yang menggambarkan kebajikan dan ketenangan.
Dia seolah menutup mata pada remeh temeh kehidupan mahasiswi seumurannya yang kerap disibukkan dengan baju bagus atau dandanan genit. Jika dirinya diwakilkan oleh Mumtaz, maka aku lebih menyukai kisah mengenai Taj dalam versi drama yang disutradarai M Sayeed Alam. Bahwa Taj adalah monumen untuk mengingatkan betapa dirinya merupakan sosok tangguh yang harus ditaklukan, dan untuk itu Shah Jahan harus menatapnya dengan gentar dan gemetar.
Gendis membuatku tak berdaya sekaligus bergairah dalam waktu yang sama.
“Tehnya lagi, Nang?”
Suara Kang Irul membuyarkan lamunanku. Kuiyakan tawaran Kang Irul, sementara ingatanku mengembara pada kejadian dua hari lalu.
“Kau mau jadi pacarku?” tanyaku langsung saat dia sedang memilih baju batik. Dia menatapku tajam sebelum dengan enteng menimpali.
“Bukankah dengan modal tampang ‘bagusmu,’ kau bisa ngedapetin Sheila, si bintang kampus?”
“Sebenarnya … aku pernah jalan sama dia.”
“Ohhh … Don Juan,” ledeknya sinis bercampur jahil.
“Don Jon tepatnya.” Aku meringis sedangkan dia membelalak sebelum terbahak. Tawanya keras sekali seperti preman Tanah Abang. Kubiarkan dia tenggelam dalam gelak, sungguh pemandangan yang nikmat. Setelah beberapa saat dan perhatian para pejalan Malioboro tidak terarah lagi padanya, akhirnya dia berkata.
“Bukan tawaran mudah.”
“Maksudmu?”
“Aku perlu waktu berpikir.”
Sorot matanya saat mengatakan hal itu membuatku gemas dan takut. Patah hati merupakan hal paling mengerikan bagiku yang jarang menerima penolakan. Sisa waktu selanjutnya kuisi dengan kecanggungan luar biasa, namun tidak bagi gadis satu ini, tidak ada hal yang membebaninya nampaknya. Dia memintaku untuk menunggu, dan pesan singkatnya tadi pagi, membuatku kelabakan bukan main.
Satu tepukan pada punggung membuatku menoleh.
“Lama nunggunya?” Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihatnya. Kemudian dia duduk di sebelahku.
“Jadi gimana?” Kukutuki suaraku yang serak.
“Aku gak bisa jadi pacarmu,” katanya datar. Secepat remuknya hatiku, secepat itu pula dia membuatku melayang.
“Mulai saat ini, kau harus berkomitmen untuk jadi calon suamiku. Suami merupakan kata kelam dalam kamus hidupku.”
Aku bisa sedikit mengerti apa yang ia maksudkan. Kesedihan dalam kalimatnya adalah masa lalunya, dan aku bersumpah untuk tidak mengecewakannya. Kugenggam tangannya, dan dia menatapku dengan lembut.

0 komentar:

Posting Komentar