Apa yang hendak kuceritakan di sini? Seorang wanita buta yang
memangku rembulan? Tidak.Kesannya tidak seflamboyan itu. Menarik. Itulah
satu kata sederhana yang menggambarkan seperti apa dirinya.
Saat itu aku sedang makan di angkringan Kang Irul ketika kemudian dia mencomot gorengan dari tumpukan.
“Gimana tugas buat besok?”
“Eh, maaf?”
“Tugas statistik. Kita sekelas, bukan?”
Aku tahu betul kami ambil mata kuliah yang sama. Apa yang membuatku
terkejut adalah kenyataan bahwa gadis dengan reputasi sangat angkuh,
sudi menyapaku lebih dulu.
Apa yang terjadi di bawah payungan
tenda biru angkringan Kang Irul sore itu, mengubah persepsiku
mengenainya. Entah bagaimana caranya, obrolan mengalir sedemikian lancar
saat itu dan hari-hari selanjutnya. Penilaian kawan-kawanku ternyata
keliru, Gendis bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Dirinya seperti
kamus berjalan, segala hal ia ketahui. Dari Lenin sampai keluarga
Bakrie, Shakespeare sampai Goenawan Mohammad, sebut saja. Apa yang
kutangkap darinya adalah keganjilan dari simbol Bulan Trilipat; sosoknya
masih gadis tapi kedewasaannya sampai pada fase nenek yang
menggambarkan kebajikan dan ketenangan.
Dia seolah menutup mata
pada remeh temeh kehidupan mahasiswi seumurannya yang kerap disibukkan
dengan baju bagus atau dandanan genit. Jika dirinya diwakilkan oleh
Mumtaz, maka aku lebih menyukai kisah mengenai Taj dalam versi drama
yang disutradarai M Sayeed Alam. Bahwa Taj adalah monumen untuk
mengingatkan betapa dirinya merupakan sosok tangguh yang harus
ditaklukan, dan untuk itu Shah Jahan harus menatapnya dengan gentar dan
gemetar.
Gendis membuatku tak berdaya sekaligus bergairah dalam waktu yang sama.
“Tehnya lagi, Nang?”
Suara Kang Irul membuyarkan lamunanku. Kuiyakan tawaran Kang Irul, sementara ingatanku mengembara pada kejadian dua hari lalu.
“Kau mau jadi pacarku?” tanyaku langsung saat dia sedang memilih baju
batik. Dia menatapku tajam sebelum dengan enteng menimpali.
“Bukankah dengan modal tampang ‘bagusmu,’ kau bisa ngedapetin Sheila, si bintang kampus?”
“Sebenarnya … aku pernah jalan sama dia.”
“Ohhh … Don Juan,” ledeknya sinis bercampur jahil.
“Don Jon tepatnya.” Aku meringis sedangkan dia membelalak sebelum
terbahak. Tawanya keras sekali seperti preman Tanah Abang. Kubiarkan dia
tenggelam dalam gelak, sungguh pemandangan yang nikmat. Setelah
beberapa saat dan perhatian para pejalan Malioboro tidak terarah lagi
padanya, akhirnya dia berkata.
“Bukan tawaran mudah.”
“Maksudmu?”
“Aku perlu waktu berpikir.”
Sorot matanya saat mengatakan hal itu membuatku gemas dan takut. Patah
hati merupakan hal paling mengerikan bagiku yang jarang menerima
penolakan. Sisa waktu selanjutnya kuisi dengan kecanggungan luar biasa,
namun tidak bagi gadis satu ini, tidak ada hal yang membebaninya
nampaknya. Dia memintaku untuk menunggu, dan pesan singkatnya tadi pagi,
membuatku kelabakan bukan main.
Satu tepukan pada punggung membuatku menoleh.
“Lama nunggunya?” Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihatnya. Kemudian dia duduk di sebelahku.
“Jadi gimana?” Kukutuki suaraku yang serak.
“Aku gak bisa jadi pacarmu,” katanya datar. Secepat remuknya hatiku, secepat itu pula dia membuatku melayang.
“Mulai saat ini, kau harus berkomitmen untuk jadi calon suamiku. Suami merupakan kata kelam dalam kamus hidupku.”
Aku bisa sedikit mengerti apa yang ia maksudkan. Kesedihan dalam
kalimatnya adalah masa lalunya, dan aku bersumpah untuk tidak
mengecewakannya. Kugenggam tangannya, dan dia menatapku dengan lembut.
Selasa, 30 Desember 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar