Sabtu, 10 Januari 2015

Puisi Indah

"Kung! aku nggak mau belajar ini! Susah!" sungut Aji sambil melempar salah satu bukunya ke meja.
Akung yang bertelanjang dada, tengah 'leyeh-leyeh' hampir terpejam, seketika terbuka matanya. Segera dimatikannya lantunan 'uyon-uyon' dari 'ipod' berwarna hitam, hadiah 'ambal warsa' yang ke tujuh puluh dari anak-anaknya.
"Masuk rumah, kok, seperti 'pithik'? Nyelonong nggak pake salam, Le?" canda Akung.
"Ini, Kung. Di sekolah tadi pelajaran aksara Jawa. Susah!" lapor Aji yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Ha Na Ca Ra Ka...," sahut Akung sembari membuka buku yang tadi dilempar Aji, cucunya yang berumur sepuluh tahun itu.
"Mending belajar huruf Jepang. Keren!"
"Aksara Jawa juga keren. Belum lagi aksara dari daerah lainnya. Indonesia ini 'sugih', Le!"
"Ah, 'jadul'! Sama kayak Akung!" ledek Aji, "Coba lihat kartun-kartun Jepang itu, ceritanya hebat-hebat!" sambung Aji lagi.
"Sini, Akung ceritakan tentang asal mula aksara Jawa. Ceritanya nggak kalah menarik sama kartun-kartun Jepangmu itu, Le!" sahut Akung sembari mengambar di buku tadi.
"Seorang pemuda tampan mengembara di sebuah kerajaan yang rajanya kejam dan suka makan daging rakyatnya. Pemuda ini tergugah dan ingin menolong," kata Akung sambil membuka 'udeng' di kepalanya.
"Terus?" sela Aji penasaran melihat Akung malah menghamparkan 'udeng' tersebut.
Akung tersenyum dan menggambar lagi.
"Pemuda itu bilang ke raja, bersedia menjadi santapan dengan syarat diberi tanah seluas ikat kepala sang raja," kata Akung, "permintaannya langsung disetujui dan raja
mulai mengukur tanah dengan ikat kepalanya," lanjut Akung.
"Gitu aja, Kung?"
"Ikat kepalanya jadi meluas, hingga mendorong sang raja tercebur ke lautan. Raja tersebut menjadi buaya putih!"
"Waaahhh..., pemuda itu, Kung?"
"Pemuda itu menggantikan raja yang kejam itu!"
"Keren..., jadi raja!"
"Cita-citamu jadi apa, Le?"
"Jadi presiden, dong!"
"Kalau jadi presiden jangan suka makan daging rakyatnya, jangan buat rakyat sengsara seperti raja yang kejam itu!"
"Harus!" seru Aji bersemangat, "Lanjutannya, Kung?"
"Karena menjadi raja, pemuda ini mengutus seorang abdi untuk mengambil pusakanya yang dijaga satu abdi yang lain. Kedua abdi itu berperang dan mati memperebutkan pusaka yang seharusnya diambil pemuda itu sendiri," ujar Akung.
"Abdi yang disuruh menjaga pusaka itu sebelumnya sudah diberi amanat, ya, Kung?"
"Iya, abdi itu diberi amanat untuk tidak memberikan pusaka itu ke siapapun, kecuali pemuda itu."
"Kasihan kedua abdinya mati," sahut Aji.
"Begitulah. Karena itu hati-hati dengan amanat," sambung Akung, "Menyesal telah membuat kedua abdinya meninggal, kemudian pemuda itu membuat puisi."
"Puisi...?"
"Betul. Puisi yang sekarang dikenal dengan hanacaraka itu."
"Wow! Hanacaraka itu awalnya puisi, Kung? Keren!"
"Iya, kemudian berkembang menjadi aksara Jawa ini," kata Akung sambil menunjuk tulisan di buku Aji.
"Waaah.... Eh, pemuda itu siapa namanya, Kung?"
"Namanya..., Ajisaka! Persis seperti namamu!" jawab Akung.
"Wooowww...!"
Ajisaka merasa bangga luar biasa.

0 komentar:

Posting Komentar