“Makanya aku bilang kau payah!”
Hana berlari meninggalkanku setelah menjeritkan kalimat itu, masuk ke dalam Hutan Bernyanyi tanpa menengok sekali pun.
Payah katanya. Aku menyebutnya realistis. Keajaiban ini, keajaiban
itu, tak bisakah dia belajar untuk membuka mata? Semua itu omong kosong.
Untuk apa kerja keras jika ada keajaiban?
Aku menatap arah Hana
berlari, dia sudah tidak terlihat, menghilang di balik batang pohon dan
dedaunan. Si bodoh itu … mau sejauh apa dia masuk ke dalam hutan?
Sial, tidak tahukah dia hari apa ini? Pertengahan bulan seperti ini,
serigala sering muncul untuk berburu. Dan bocah cerewet pemimpi itu
jelas takkan tahu bagaimana cara menghadapinya.
Aku berlari memasuki hutan. Jejak Hana masih jelas, dan aku cukup kenal hutan itu, tapi jika dia masuk terlalu dalam …
Aku berlari lebih cepat. Bodoh. Hana, kau bodoh. Gunakan sedikit otakmu. Kenapa selalu membuatku repot begini?
Rumput yang terinjak, ranting dan daun yang patah, jejak Hana mulai
tampak berputar-putar. Dari itu saja aku tahu dia tersesat. Jika ini
bukan tengah bulan, mungkin bagus membiarkannya beberapa jam, agar dia
mengerti hutan bukan halaman belakang rumahnya. Dia tak bisa masuk
seenaknya tanpa persiapan apa-apa. Dan semua omong kosongnya tentang
keajaiban, dia akan lihat itu tak bisa menolongnya.
Sekilas kulihat
sesuatu bergerak di balik bayangan. Matanya tampak mengkilat tajam.
Tapi dia tidak tertarik padaku. Bergerak cepat ke depan. Mereka bisa
merasakan buruan yang lemah, artinya ada yang lebih menarik perhatian
mereka daripada aku.
Aku harus cepat.
Serigala itu melesat,
aku tak bisa mengejarnya. Perlahan, sedikit demi sedikit aku tertinggal.
Dan, serigala itu hilang dari pandanganku.
Sulit untuk menemukan
jejaknya lagi setelah serigala itu hilang dari pandangan. Sedangkan jika
mengikuti jejak Hana yang jelas berputar-putar tidak jelas, aku akan
terlambat.
Sial.
Untuk beberapa waktu aku berusaha menemukan jejaknya, namun aku tak bisa menemukannya. Ini buruk.
Saat itulah aku mendengarnya. Samar, meski itu tidak lebih keras dari
desir angin, aku mendengarnya. Aku mengenalinya. Suara Hana, memanggil
namaku.
Seketika aku berlari. Kudapatkan arahnya, kulihat jejaknya
dan saat aku sampai di sana, Hana sedang ditindih oleh serigala besar.
Kuraih batu dan kulemparkan sekuat tenagaku ke tubuh serigala itu
hingga makhluk itu mengerang kesakitan. Meloncat, melepas Hana yang
terbaring di tanah.
Ayahku pernah mengajariku. Untuk menghadapi
serigala di Hutan Bernyanyi, aku harus tenang. Jangan perlihatkan rasa
takut, tatap matanya. Dan jangan pernah berkedip.
“Pergi,” kataku.
Serigala itu perlahan mundur. Sedetik kemudian, dia berbalik dan berlari pergi.
Kuhela napas lega. Jika itu gagal, aku tak tahu harus melakukan apa.
Kutatap Hana. Dia tampak menyedihkan. Terluka dan kelihatannya tak
bisa berdiri. Aku ingin berkata padanya, apa sekarang dia puas? Tapi
kubatalkan.
Kuharap dia belajar tanpa aku harus berkata apa pun.
Kamis, 08 Januari 2015
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar