Kamis, 08 Januari 2015

Hanna Kecil

 “Makanya aku bilang kau payah!”
Hana berlari meninggalkanku setelah menjeritkan kalimat itu, masuk ke dalam Hutan Bernyanyi tanpa menengok sekali pun.
Payah katanya. Aku menyebutnya realistis. Keajaiban ini, keajaiban itu, tak bisakah dia belajar untuk membuka mata? Semua itu omong kosong. Untuk apa kerja keras jika ada keajaiban?
Aku menatap arah Hana berlari, dia sudah tidak terlihat, menghilang di balik batang pohon dan dedaunan. Si bodoh itu … mau sejauh apa dia masuk ke dalam hutan?
Sial, tidak tahukah dia hari apa ini? Pertengahan bulan seperti ini, serigala sering muncul untuk berburu. Dan bocah cerewet pemimpi itu jelas takkan tahu bagaimana cara menghadapinya.
Aku berlari memasuki hutan. Jejak Hana masih jelas, dan aku cukup kenal hutan itu, tapi jika dia masuk terlalu dalam …
Aku berlari lebih cepat. Bodoh. Hana, kau bodoh. Gunakan sedikit otakmu. Kenapa selalu membuatku repot begini?
Rumput yang terinjak, ranting dan daun yang patah, jejak Hana mulai tampak berputar-putar. Dari itu saja aku tahu dia tersesat. Jika ini bukan tengah bulan, mungkin bagus membiarkannya beberapa jam, agar dia mengerti hutan bukan halaman belakang rumahnya. Dia tak bisa masuk seenaknya tanpa persiapan apa-apa. Dan semua omong kosongnya tentang keajaiban, dia akan lihat itu tak bisa menolongnya.
Sekilas kulihat sesuatu bergerak di balik bayangan. Matanya tampak mengkilat tajam. Tapi dia tidak tertarik padaku. Bergerak cepat ke depan. Mereka bisa merasakan buruan yang lemah, artinya ada yang lebih menarik perhatian mereka daripada aku.
Aku harus cepat.
Serigala itu melesat, aku tak bisa mengejarnya. Perlahan, sedikit demi sedikit aku tertinggal. Dan, serigala itu hilang dari pandanganku.
Sulit untuk menemukan jejaknya lagi setelah serigala itu hilang dari pandangan. Sedangkan jika mengikuti jejak Hana yang jelas berputar-putar tidak jelas, aku akan terlambat.
Sial.
Untuk beberapa waktu aku berusaha menemukan jejaknya, namun aku tak bisa menemukannya. Ini buruk.
Saat itulah aku mendengarnya. Samar, meski itu tidak lebih keras dari desir angin, aku mendengarnya. Aku mengenalinya. Suara Hana, memanggil namaku.
Seketika aku berlari. Kudapatkan arahnya, kulihat jejaknya dan saat aku sampai di sana, Hana sedang ditindih oleh serigala besar.
Kuraih batu dan kulemparkan sekuat tenagaku ke tubuh serigala itu hingga makhluk itu mengerang kesakitan. Meloncat, melepas Hana yang terbaring di tanah.
Ayahku pernah mengajariku. Untuk menghadapi serigala di Hutan Bernyanyi, aku harus tenang. Jangan perlihatkan rasa takut, tatap matanya. Dan jangan pernah berkedip.
“Pergi,” kataku.
Serigala itu perlahan mundur. Sedetik kemudian, dia berbalik dan berlari pergi.
Kuhela napas lega. Jika itu gagal, aku tak tahu harus melakukan apa.
Kutatap Hana. Dia tampak menyedihkan. Terluka dan kelihatannya tak bisa berdiri. Aku ingin berkata padanya, apa sekarang dia puas? Tapi kubatalkan.
Kuharap dia belajar tanpa aku harus berkata apa pun.

0 komentar:

Posting Komentar