Senin, 22 Desember 2014

Mimpi yang Kita Dambakan

Kerajaan ‘Kumo’ dan Kerajaan ‘Tsuki’, adalah dua buah kerajaan yang dahulu hidup damai. Namun, semua berubah ketika kedua kerajaan memperebutkan kekuasaan atas wilayah ‘Sora’, yang menjadi perbatasan dua kerajaan. Peperangan terus berlanjut selama lima tahun.
Tahun ini, menjadi babak akhir dari pertempuran berdarah ini. Sudah banyak korban tewas dari dua pihak, termasuk negeri yang kupimpin.
Aku dan Taiga, sang Raja dari kerajaan musuh kini berada di sebuah hutan yang jauh dari hiruk pikuk para prajurit yang saling bunuh. Menjadi tempat ideal bagi kami untuk mencurahkan isi hati, sekaligus pikiran.
“Taiga, hentikan ini semua! Aku tak ingin membuatmu terbunuh,” balasku kepadanya.
“Hana, sudah sewajarnya jika perang ini terus berlanjut. Aku tak akan segan melakukan pengorbanan ini semua,” balas Taiga.
“Apa maksudmu, Taiga?”
“Sudah jelas bukan saat kita muda dulu, kita pernah saling menyatakan cinta? Tidak, lebih tepatnya sudah menjadi kekasih.”
“Ya, aku ingat itu.”
“Tapi, karena status kerajaan kita yang sedang berperang dan perselisihan dari kedua orang tua juga yang membuat aku harus mengakhirinya.”
“Itu bukan karena kesalahanmu sendiri, Taiga. Tapi, inilah saatnya, untuk menghentikan perang ini.”
“Tidak, Hana. Jika kita melakukan itu, maka para prajuritku yang akan memberontak.”
Pelik memang permasalahan yang membelenggu dua kerajaan.
“Hana, kuakui jika memang sekarang kita telah sederajat. Sama-sama menjadi seorang raja dan ratu yang memerintah kerajaannya. Namun, itu tak berarti bisa menghentikan perang ini. Harus ada satu raja yang siap mengorbankan nyawanya.”
“Taiga, apakah kau telah buta...”
Aku merasa sedih dan kecewa. Betapa berat beban yang dipanggul olehnya. Aku ingin memikul beban bersamanya.
“Apakah kau masih ingat hari di saat aku diangkat menjadi raja? Ya, itu adalah bentuk penolakan yang dilakukan keluarga kerajaan terhadap rencana pernikahan kita.”
Aku semakin terkejut mendengarnya. Tak kusangka, rencana pernikahan, yang juga bisa menjadi akhir dari pertempuran, malah tidak disetujui oleh keluarganya.
“Dan setelah itu, aku harus mengkhianati cinta ini, dengan menikahi gadis dari kerabatku, yang sekarang menjadi permaisuriku.”
“Yah, tak apa. Mungkin memang takdir kita akan berakhir seperti ini.”
Pedang telah kami genggam masing-masing. Kami berdua telah siap untuk kemungkinan terburuk.
“Maafkan aku, Hana. Mungkin aku telah menjadi lelaki terburuk yang pernah kau cintai...”
“Tidak, Taiga. Kau tetap satu-satunya lelaki terbaik yang kucintai selama ini.”
“Kalau begitu, bersiaplah, Hana. Aku tak akan segan lagi.”
“Ya, Taiga, kuterima tantanganmu.”
Kami berdua pun mulai melancarkan serangan. Ayunan-ayunan pedang itu terus mengincar tubuh kami. Dengan cepat, kami menghindarinya. Kedua pedang yang sangat ganas memburu mangsa penggunanya, mencari celah dan menerkam musuh, demi menunjukkan siapa penakluk sesungguhnya. Tarian-tarian pedang yang terbentuk anggun, serta suara denting pedang yang bergesekkan, terdengar sendu dan merdu, untuk menghapus kesedihan ini. Bunga-bunga api ikut menemani, bersiap menyambut perpisahan di antara kami.
Semua itu pada akhirnya muncul. Mata pedangku mengenai tulang rusuk kirinya, mengenai jantungnya tepat, hingga menembus punggung. Aku yang tak akan menyangka dengan ini, pada akhirnya menangis sejadi-jadinya.
“Maafkan aku, Taiga...”
Taiga tersenyum kecil. Ia pun membisikkan beberapa kata kepadaku.
“Terima kasih telah menghentikanku, Hana. Kutitipkan Kerajaan Tsuki kepadamu. Wujudkanlah mimpi yang dahulu kita dambakan...”
Ia pun menyelesaikan pembicaraannya, disertai hembusan napas terakhirnya.

1 komentar:

  1. Kumo= Awan
    Tsuki= Bulan
    Sora= Langit

    Saya sang at familiar dengan karya ini.

    BalasHapus