Selasa, 30 Desember 2014

Gendis

Apa yang hendak kuceritakan di sini? Seorang wanita buta yang memangku rembulan? Tidak.Kesannya tidak seflamboyan itu. Menarik. Itulah satu kata sederhana yang menggambarkan seperti apa dirinya.
Saat itu aku sedang makan di angkringan Kang Irul ketika kemudian dia mencomot gorengan dari tumpukan.
“Gimana tugas buat besok?”
“Eh, maaf?”
“Tugas statistik. Kita sekelas, bukan?”
Aku tahu betul kami ambil mata kuliah yang sama. Apa yang membuatku terkejut adalah kenyataan bahwa gadis dengan reputasi sangat angkuh, sudi menyapaku lebih dulu.
Apa yang terjadi di bawah payungan tenda biru angkringan Kang Irul sore itu, mengubah persepsiku mengenainya. Entah bagaimana caranya, obrolan mengalir sedemikian lancar saat itu dan hari-hari selanjutnya. Penilaian kawan-kawanku ternyata keliru, Gendis bukanlah seperti yang mereka pikirkan. Dirinya seperti kamus berjalan, segala hal ia ketahui. Dari Lenin sampai keluarga Bakrie, Shakespeare sampai Goenawan Mohammad, sebut saja. Apa yang kutangkap darinya adalah keganjilan dari simbol Bulan Trilipat; sosoknya masih gadis tapi kedewasaannya sampai pada fase nenek yang menggambarkan kebajikan dan ketenangan.
Dia seolah menutup mata pada remeh temeh kehidupan mahasiswi seumurannya yang kerap disibukkan dengan baju bagus atau dandanan genit. Jika dirinya diwakilkan oleh Mumtaz, maka aku lebih menyukai kisah mengenai Taj dalam versi drama yang disutradarai M Sayeed Alam. Bahwa Taj adalah monumen untuk mengingatkan betapa dirinya merupakan sosok tangguh yang harus ditaklukan, dan untuk itu Shah Jahan harus menatapnya dengan gentar dan gemetar.
Gendis membuatku tak berdaya sekaligus bergairah dalam waktu yang sama.
“Tehnya lagi, Nang?”
Suara Kang Irul membuyarkan lamunanku. Kuiyakan tawaran Kang Irul, sementara ingatanku mengembara pada kejadian dua hari lalu.
“Kau mau jadi pacarku?” tanyaku langsung saat dia sedang memilih baju batik. Dia menatapku tajam sebelum dengan enteng menimpali.
“Bukankah dengan modal tampang ‘bagusmu,’ kau bisa ngedapetin Sheila, si bintang kampus?”
“Sebenarnya … aku pernah jalan sama dia.”
“Ohhh … Don Juan,” ledeknya sinis bercampur jahil.
“Don Jon tepatnya.” Aku meringis sedangkan dia membelalak sebelum terbahak. Tawanya keras sekali seperti preman Tanah Abang. Kubiarkan dia tenggelam dalam gelak, sungguh pemandangan yang nikmat. Setelah beberapa saat dan perhatian para pejalan Malioboro tidak terarah lagi padanya, akhirnya dia berkata.
“Bukan tawaran mudah.”
“Maksudmu?”
“Aku perlu waktu berpikir.”
Sorot matanya saat mengatakan hal itu membuatku gemas dan takut. Patah hati merupakan hal paling mengerikan bagiku yang jarang menerima penolakan. Sisa waktu selanjutnya kuisi dengan kecanggungan luar biasa, namun tidak bagi gadis satu ini, tidak ada hal yang membebaninya nampaknya. Dia memintaku untuk menunggu, dan pesan singkatnya tadi pagi, membuatku kelabakan bukan main.
Satu tepukan pada punggung membuatku menoleh.
“Lama nunggunya?” Jantungku serasa berhenti berdetak saat melihatnya. Kemudian dia duduk di sebelahku.
“Jadi gimana?” Kukutuki suaraku yang serak.
“Aku gak bisa jadi pacarmu,” katanya datar. Secepat remuknya hatiku, secepat itu pula dia membuatku melayang.
“Mulai saat ini, kau harus berkomitmen untuk jadi calon suamiku. Suami merupakan kata kelam dalam kamus hidupku.”
Aku bisa sedikit mengerti apa yang ia maksudkan. Kesedihan dalam kalimatnya adalah masa lalunya, dan aku bersumpah untuk tidak mengecewakannya. Kugenggam tangannya, dan dia menatapku dengan lembut.

Minggu, 28 Desember 2014

Kisah Cinta Putri Nikirana

Negeri Kincir itu berdiri megah di atas awan. Lampu kristal menghias indah mengelilingi istana. Sebuah kamar dirancang khusus, dindingnya penuh ukiran wajah seribu bidadari. Dengan balutan selendang sutera seolah-olah mengajak menari menghibur diri, sepanjang hari. Di depan istana ada taman yang mahaluas, rimbun penuh bunga melati.
Tetapi, semua itu tidaklah membuat Putri Nikirana bahagia. Sang Raja, tak lain adalah Ayahandanya. Selalu melarang jika ia hendak turun ke bumi.
”Ayahandaku, izinkanlah Ananda untuk pergi ke telaga cinta bawah sana.” Putri Nikirana menitikkan air mata saat permintaannya tak dikabulkan.
”Bukankah sudah kubuatkan kolam indah seperti telaga cinta itu. Kenapa masih ingin ke bumi yang gersang tanpa pepohonan meneduhkan?” jawab Sang Ayah sembari menikmati teh melati bikinan Sang Permaisuri.
”Ibunda, Ananda ingin berjumpa dengan Legawa.” Kini ia beralih meminta izin dari Ibundanya.
”Dengarlah, Sayang. Sungguh, di bumi itu orang-orangnya licik. Mereka akan menggunakan segala cara untuk bisa mendapatkanmu. Ingatlah! Kau adalah milik kami. Ayahandamu sangat menyayangimu.”
Setelah mendengar penuturan Ibundanya, Putri Nikirana semakin bersedih. Tak ada harapan lagi, pikirnya. Setiap hari ia hanya mengurung diri di kamar yang sepi. Senyum ceria seribu bidadari tak mampu mengobati luka hatinya.
Musim penghujan tiba. Di langit mendung-mendung itu bergelantung manja. Mereka memainkan anak-anak awan, menyatukannya menjadi gumpalan-gumpalan hitam berisi hujan air mata yang siap dijatuhkannya ke bumi. Dalam sedu-sedannya ia teringat akan janji pada Legawa.
’Ia bersedia menghabiskan hari-hari bersama.’
Pertemuan yang tak disengaja sebulan yang lalu, saat Putri Nikirana diajak Ayahandanya untuk mencari ramuan awet muda. Di saat melintasi hutan semak berduri. Kaki kuda yang membawa kereta kencana mereka tertancap duri hingga keretanya hampir terguling di sisi telaga cinta. Saat itu Legawa sedang mengumpulkan semak-semak kering yang akan dibawanya pulang untuk membuat perapian kala malam tiba. Ia melempar keranjang yang hampir penuh dengan semak keringnya itu. Ditariknya kereta kencana yang hampir saja terjebur ke dalam telaga.
”Hai, manusia bumi. Apa yang kauingini? Karena kau telah menolong kami. Maka semua permintaanmu akan kukabulkan.”
”Tidak, Tuan. Aku tak menginginkan apa-apa,” jawab Legawa memberikan senyum termanisnya. Saat itu Putri Nikirana tersentuh hatinya. Baru pertama menjumpai orang berhati suci. Membantu tanpa mau dibalas.
Sang Raja punya kelebihan, mampu menebak isi hati. Ia tahu Putri tercintanya telah menjatuhkan hati pada manusia bumi. Maka dengan segala cara ia berusaha menghalangi pertemuan mereka.
Salah satu cara untuk bisa menghentikan kekhawatiran akan putrinya adalah menjodohkannya dengan putra tunggal dari Raja Negeri Angin. Kebetulan Raja Negeri Angin sedang mencari menantu. Maka kesepakatan dua raja ini menyatukan putra-putri mereka. Juga menyatukan Negeri Kincir Angin.
Mengetahui ia telah dijodohkan tanpa persetujuan. Putri Nikirana mengunci diri.
’Ayahanda, Ananda tidak mau dipersunting selain Legawa. Ananda tahu, Ayahanda telah membinasakan Legawa saat ini. Ibunda telah menceritakan semuanya. Maka dari itu biarlah sekarang aku menjadi sabit di malam-malammu. Hanya di malam purnama kuizinkan engkau menjumpaiku. Saat itu, Ananda akan datang menerangi hatimu yang penuh kegelapan.’
Saat Sang Raja kembali dari bumi ia mendapati putrinya tergantung dengan selendang sutera dari salah satu bidadari yang diukirnya sendiri.

Jumat, 26 Desember 2014

Bulan Sabit di Malam Natal

Malam natal itu aku tidur lebih awal, sebab esoknya harus bangun paling pagi sebelum yang lainnya. Itu adalah kewajiban yang harus kulakoni sebagai anak perempuan tertua setiap malam natal. Aku harus membangunkan orang tua dan saudara-saudaraku dengan mengenakan baju putih, ikat pinggang merah dan mahkota yang berhiaskan sembilan lilin. Kemudian menyiapkan makanan untuk sarapan bersama dengan bercahayakan lilin.
Aku selalu takjub melihat cahaya lilin. Itu selalu mengingatkanku tentang pengorbanan, dimana lilin merelakan tubuhnya terbakar dan habis demi menerangi dunia. Aku selalu ingin menjadi lilin untuk keluargaku. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan mereka. Tetapi sejak kejadian malam gerimis itu, aku telah habis terbakar dan padam. Aku tidak bisa lagi menerangi kehidupan keluarga. Aku bahkan membawa kegelapan yang tak pernah datang sebelumnya. Akhirnya kuputuskan lebih baik pergi daripada menjadi kabut hitam yang membawa kegelapan. Malam natal ini pun aku sendiri. Tidak ada lilin, api, ataupun penerang dan penghangat lainnya. Yang ada hanya kegelapan yang kukandung.
"Tuhanku Yesus, jadikan dia lahir sebagai cahaya seperti bulan sabit itu bukan seperti lilin yang ketika tubuhnya habis terbakar hanya mendatangkan gelap dan tidak ada lagi cahaya yang dapat diciptakannya." Pintaku pada malam natal berbulan sabit ini dengan menahan sakit di perutku yang besar. Sakit yang teramat sangat. Walau kesendirian ini masih lebih menyakitkan.
Aku benar-benar telah keliru mengidolakan lilin. Karena dengan menjadi sepertinya, kini aku menjadi kegelapan. Kini aku benar-benar memuja bulan. Walau masih sabit, cahayanya mampu menerangi semua belahan dunia.
Tiba-tiba saja seperti ada gelombang besar yang mengamuk di perutku. Sakit. Kemudian kurasakan mulut rahimku terbuka dan gelombang dahsyat itu keluar. Sekejap saja aku melihatnya, cepat-cepat aku menutup mata. Tak percaya tapi sebuah cahaya memang keluar dari perutku.
Aku membuka mata tepat ketika cahaya yang terburai itu menyatu dan membentuk sebuah benda berbentuk sabit. Cahayanya kuning seperti cahaya bulan. Kutengadahkan kepalaku ke atas langit. Kulihat bulan sabit masih ada di atas sana. Lantas apa yang kini melayang tak jauh dariku?
"Aku anakmu ibu. Aku telah lahir seperti yang kau inginkan," ujar cahaya berbentuk bulan sabit itu benar-benar membuatku terperanjat. Cahaya itu bisa bicara dan mengaku sebagai anakku. Rasanya sungguh mustahil. Diam-diam kulirik perutku. Ya Tuhan, perutku memang sudah mengempis.
"Tidak, aku tidak percaya ini!" Kupukul-pukul kepalaku yang sedang tidak beres.
"Ibu, kau tidak suka aku lahir?" tanya cahaya itu kembali menyentakku. Tiba-tiba muncul Santa Claus dengan baju merah bercorak putihnya.
"Santa, kau datang?"
"Dialah anakmu, Clara! Ia telah lahir seperti yang kau inginkan. Ini hadiah natalmu dariku. Selamat merayakan natal!" Santa pun menghilang.
Aku menatap cahaya menyilaukan itu lagi, ia benar-benar menyita perhatian dan kesadaranku. Ia anakku.
"Kemarilah, Anakku! Aku ingin memangkumu," kataku kemudian. Ia telah memenuhi keinginanku, menerangi hidupku yang gelap. Tidak sepantasnya aku mengabaikannya.
"Tidak, Ibu!"
"Kenapa, Nak? Tidak maukah kau berada dalam pangkuanku?"
"Aku ingin sekali, Ibu. Tetapi aku tidak ingin melukai matamu dengan cahayaku yang terlalu menyilaukan untukmu."
"Baiklah aku akan menutup mataku dengan syal ini, Nak. Aku benar-benar ingin memangkumu, memelukmu," ucapku dengan terisak.
Kau anakku, Nak! Kau penerang hidupku yang gelap. Walau cahayamu bisa menyakiti mataku jika kau terlalu dekat denganku, aku tetap ingin kau dekat denganku. Dipangkuanku.

Rabu, 24 Desember 2014

Jikalau Bulan Sudah Purnama

Sudah tujuh belas tahun wanita itu memangku bulan. Bulan sabit yang terlahir dari rahimnya yang entah sudah dihamili oleh siapa. Ia begitu sayang, begitu perhatian, tak pernah lupa mencoret angka-angka di kalender jika bulan sabit telah melengkung di matanya. Itu adalah bukti bahwa kehadiran sebuah bulan sangat penting baginya.
Tak jarang, wanita itu dengan lugu menatap bulan sabitnya. Seperti sedang terjadi percakapan batin antara ibu dan anak atau wanita dan kekasihnya, sangat romantis. Malam baginya adalah taman-taman surga dibalut beberapa awan putih, tampak memesona seluruh penghuni angkasa. Ia tak memikirkan apa-apa, selain kehangatan dan kebersamaan yang tercipta di antaranya.
Jika dibilang cemburu, pastilah semua orang akan cemburu melihat betapa kebersamaan itu terjalin sangat kuat. Hujan pun tak sanggup memisahkan keduanya, apalagi lolong serigala malam yang hanya mengaum di saat-saat tertentu saja, saat lapar perutnya meronta-ronta untuk segera mencari mangsa, kemudian akan tidur dalam waktu yang cukup lama setelah merasa kenyang.
Semua cemburu, semua merasa tak senang, dan semua bedebah akan menyembunyikan muka aslinya di balik layar. Mereka hanya tahu kesenangan, pandai memilih jalan yang mulus, dan ‘sok’ menjadi pahlawan saat ada berita kehilangan berkumandang di seantero jagat raya. Bulan redup, bulan redup.
”Mereka itu siapa, Bu?” tanya si bulan sabit.
“Mereka orang yang sangat perhatian pada negeri ini, Nak,” jawab si wanita itu dengan lembut.
“Mereka itu nyata, ya, Bu?”
”Tentu saja, Nak. Mereka bahkan bisa berada di antara kita, termasuk dalam hati kita.”
Percakapan itu berlangsung lama, hingga wanita itu menggigil dirasuki bayangan orang-orang yang tak jelas dari mana asalnya. Ia sangat ingat betapa kebersamaan yang sudah lama tercipta dirusak begitu saja oleh orang-orang yang ‘pintar’ mencari peluang.
”Jika aku besar nanti, Bu, aku ingin cemburu.”
“Mau cemburu sama siapa, Nak?”
“Cemburu pada kelakuannya yang tak ada seorang pun mengingatkan.”
“Owalaaah. Sudahlah, Nak. Biarkan saja. Toh nanti juga tercium, bangkainya.”
“Mati, Bu?”
”Iya, mati, Nak. Dan sepertinya, Ibu dan bapakmu yang sudah terpisah lama ini sebentar lagi akan dipertemukan, kemudian akan tetap bersama selamanya dalam sebuah ritual kematian.”
Jika hidup untuk mati, jika bersama untuk berpisah, dan jika-jika yang lain sudah bermunculan satu per satu dalam pikiran sang bulan. Jika yang sangat mengganggu sekali keinginannya untuk tetap mekar di setiap angka yang berjajar di kalender, sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, dan itu tak mengubah apa pun yang ada dalam dirinya.
Wanita itu sudah semakin renta, memangku pun tak bisa. Sang bulan sudah purnama berusia ratusan tahun lamanya. Tentu saja sendirian, sebatang kara dan tak punya siapa-siapa lagi. Tetapi pelajaran untuk tidak takut kepada siapa-siapa adalah hal utama yang selalu diingat oleh sang bulan purnama. Hanya ada satu yang ia takutkan: gerhana. Saat semua-semua berpura-pura gelap seperti malam, berpura-pura lupa dalam sejekap, dan sang bulan selalu jadi korban.

Senin, 22 Desember 2014

Mimpi yang Kita Dambakan

Kerajaan ‘Kumo’ dan Kerajaan ‘Tsuki’, adalah dua buah kerajaan yang dahulu hidup damai. Namun, semua berubah ketika kedua kerajaan memperebutkan kekuasaan atas wilayah ‘Sora’, yang menjadi perbatasan dua kerajaan. Peperangan terus berlanjut selama lima tahun.
Tahun ini, menjadi babak akhir dari pertempuran berdarah ini. Sudah banyak korban tewas dari dua pihak, termasuk negeri yang kupimpin.
Aku dan Taiga, sang Raja dari kerajaan musuh kini berada di sebuah hutan yang jauh dari hiruk pikuk para prajurit yang saling bunuh. Menjadi tempat ideal bagi kami untuk mencurahkan isi hati, sekaligus pikiran.
“Taiga, hentikan ini semua! Aku tak ingin membuatmu terbunuh,” balasku kepadanya.
“Hana, sudah sewajarnya jika perang ini terus berlanjut. Aku tak akan segan melakukan pengorbanan ini semua,” balas Taiga.
“Apa maksudmu, Taiga?”
“Sudah jelas bukan saat kita muda dulu, kita pernah saling menyatakan cinta? Tidak, lebih tepatnya sudah menjadi kekasih.”
“Ya, aku ingat itu.”
“Tapi, karena status kerajaan kita yang sedang berperang dan perselisihan dari kedua orang tua juga yang membuat aku harus mengakhirinya.”
“Itu bukan karena kesalahanmu sendiri, Taiga. Tapi, inilah saatnya, untuk menghentikan perang ini.”
“Tidak, Hana. Jika kita melakukan itu, maka para prajuritku yang akan memberontak.”
Pelik memang permasalahan yang membelenggu dua kerajaan.
“Hana, kuakui jika memang sekarang kita telah sederajat. Sama-sama menjadi seorang raja dan ratu yang memerintah kerajaannya. Namun, itu tak berarti bisa menghentikan perang ini. Harus ada satu raja yang siap mengorbankan nyawanya.”
“Taiga, apakah kau telah buta...”
Aku merasa sedih dan kecewa. Betapa berat beban yang dipanggul olehnya. Aku ingin memikul beban bersamanya.
“Apakah kau masih ingat hari di saat aku diangkat menjadi raja? Ya, itu adalah bentuk penolakan yang dilakukan keluarga kerajaan terhadap rencana pernikahan kita.”
Aku semakin terkejut mendengarnya. Tak kusangka, rencana pernikahan, yang juga bisa menjadi akhir dari pertempuran, malah tidak disetujui oleh keluarganya.
“Dan setelah itu, aku harus mengkhianati cinta ini, dengan menikahi gadis dari kerabatku, yang sekarang menjadi permaisuriku.”
“Yah, tak apa. Mungkin memang takdir kita akan berakhir seperti ini.”
Pedang telah kami genggam masing-masing. Kami berdua telah siap untuk kemungkinan terburuk.
“Maafkan aku, Hana. Mungkin aku telah menjadi lelaki terburuk yang pernah kau cintai...”
“Tidak, Taiga. Kau tetap satu-satunya lelaki terbaik yang kucintai selama ini.”
“Kalau begitu, bersiaplah, Hana. Aku tak akan segan lagi.”
“Ya, Taiga, kuterima tantanganmu.”
Kami berdua pun mulai melancarkan serangan. Ayunan-ayunan pedang itu terus mengincar tubuh kami. Dengan cepat, kami menghindarinya. Kedua pedang yang sangat ganas memburu mangsa penggunanya, mencari celah dan menerkam musuh, demi menunjukkan siapa penakluk sesungguhnya. Tarian-tarian pedang yang terbentuk anggun, serta suara denting pedang yang bergesekkan, terdengar sendu dan merdu, untuk menghapus kesedihan ini. Bunga-bunga api ikut menemani, bersiap menyambut perpisahan di antara kami.
Semua itu pada akhirnya muncul. Mata pedangku mengenai tulang rusuk kirinya, mengenai jantungnya tepat, hingga menembus punggung. Aku yang tak akan menyangka dengan ini, pada akhirnya menangis sejadi-jadinya.
“Maafkan aku, Taiga...”
Taiga tersenyum kecil. Ia pun membisikkan beberapa kata kepadaku.
“Terima kasih telah menghentikanku, Hana. Kutitipkan Kerajaan Tsuki kepadamu. Wujudkanlah mimpi yang dahulu kita dambakan...”
Ia pun menyelesaikan pembicaraannya, disertai hembusan napas terakhirnya.

Sabtu, 20 Desember 2014

Guguak Tempat Aku Bermula

pagi datang membangunkan alam
fajar malu malu menyibak gelap
sinar mentari masih semu di ufuk Timur
bumi masih berselubung kabut pekat
embun berkilauan di ujung ujung daun
bak manik manik dalam untaian
hawa dingin menusuk gigilkan tulang
membekukan rasa dan setiap raga
burung burung berisik memecah kesunyian
meninggalkan sarang di puncak puncak pohon
meninggalkan tenggeran di ranting dahan
berterbangan menuju ladang ladang berkah Tuhan
riuh bertambah terasa ketika pagi semakin terang
ketika hamba hamba mulai mengais rejeki
dalam hamparan bumi penuh berkah
rahmat yang telah disediakan Allah SWT
gemericik air jatuh di kolam kolam
mengalirkan air kehidupan
buat hamba hambaNya hidup
yang bersyukur maupun yang kufur
oh, indah benar terasa di jiwa
alam pedesaan nan murni
desa tempat darah ibuku tumpah
ketika melahirkan aku kedunia ini
Guguak, itulah nama tempatnya
tempat yang permai penuh panorama
di lingkungi bukit sekelilingnya
dalam lembah gugusan Bukit Barisan
desa tempat berjuta jejak telapak kakiku
tempat aku dibesarkan hingga remaja
tempat berjuta asa dan cita cita kupendam
tempat cinta dan rasa yang tak pernah mati

Kamis, 18 Desember 2014

Rumah Langit

Adit nama bocah kecil itu. Usianya baru 11 tahun, namun tugasnya sama dengan orang dewasa lainnya. Mencari nafkah, mengurus rumah dan menguris sang nenek yang sudah renta. Adit adalah cucu satu-satunya dari nenek Masnah. Orangtua Adit sudah meninggal dunia. Hanya nenek Masnah lah keluarga yang dia miliki. Sarif : ayah Adit, adalah anak nenek Masnah satu-satunya. Sedangkan ibu Adit tidak diketahui dimana keluarganya.
Di rumah gubuk ini Adit dan nenek Masnah tinggal bersama. Dalam suka dan duka. Penuh kekurangan dan kesusahan. Beban hidup Adit bertambah dengan kondisi nenek Masnah yang sudah renta. Beliau hanya bisa terbaring ditempat tidur. Usianya memang sudah tua sekiat 80an. Sudah tidak memiliki banyak tenaga unuk melakukan aktifitas seperti biasanya. Adit lah yang melakukan semua pekerjaan. Cucu yang selalu dia banggakan. Nenek Masnah selalu berdoa pada Tuhan, agar Tuhan merubah nasib cucunya dengan lebih baik lagi. 
Pagi hari sebelum berangkat sekolah Adit menyiapkan segala sesuatunya, sehingga tidak menyusahkan nenek Masnah di rumah. 
"Nek..Adit berangkat sekolah dulu ya. Air minum dan makanan Adit sudah siapkan di sini." Kata Adit pada nenek Masnah yang terbaring di ranjang tua nya. Disebelah tempat tidur terdapat meja kayu tempat Adit biasa menyiaplkan botol minum dan makanan untuk nenek Masnah. Pagi ini hanya singkong rebus saja. Sambil mencium tangan nenek Masnah.
"Pergilah Nak..nenek berdoa pada Tuhan agar kau menjadi anak yang pandai." Balas nenek Masnah sambil mengelus kepala Adit dengan lembut.
*****
Untuk memenuhi biaya hidup Adit bekerja serabutan. Apa saja asalkan halal, begitu nasehat nenek Masnah. Kadang para tetangga ada yang memberi makanan pada keluarga kecil ini. Rumah gubuk nenek Masnah terletak diantara rumah penduduk. Hanya rumah merekalah yang masih berdinding bilik bambu. Listrik nya diberi tumpangan oleh Ibu Mia tetangga sebelah tanpa perlu membayar. Para tetangga disini semuanya memang baik-baik. 
"Adit..cepatlah pulang, nenekmu dia muntah-muntah tidak henti-hentinya." Kata pak Joko menyusul Adit yang sedang bekerja di tempat pak Anwar. Pak Anwar adalah penjual makanan khas daerah kami. Usahanya sedang maju-majunya. Saat ini dia sedang mendapat order dari daerah lain, sehingga memerlukan tenaga tambahan. Upahnya lumayan dibayarkan satu minggu sekali. Namun jika tidak ada order Adit hanya diam di rumah menunggu orang yang datang untuk meminta jasa tenaganya.
Dengan tergesa-gesa Adit segera pulang menuju rumahnya. Sekolah Adit jaraknya memang lumayan jauh. Tergopoh-gopoh Adit menemui nenk Masnah yang sudah sakaratul maut. Nafasnya tersengal-sengal menahan beban.
"Nek...nenek..nenek kenpaa?" Tanya Adit. Nenek memang punya penyakit paru-paru. Namun karena keterbatasan biaya, penyakit itu tak pernah diobati.
"Nenek tidak apa-apa nak, hanya lelah saja. Jadilah anak yang pandai dan berguna bagi sekitar. Jangan sombong dan jangan menyakiti orang lain." Begitu pesan nenek. Dengan senyum terakhirnya yang manis nenek Masnah pun meninggal dunia. Penuh ketenangan dan kebahagiaan karena dia telah mendidik cucunya dengan baik. 
"Nenek.........." Teriak Adit histeris, dengan memeluk nenek untuk terakhir kalinya. Para tetangga yang menyaksikan ikut pula menangis. Tak tahan menahan rasa haru atas kepergian nenek Masnah yang telah mereka kenla selama ini. 
Almarhum memang semasa hidupnya dikenal orang yang sangat baik, pekerja keras tak pernah meminta pada tetangga. Orangnyabringan tangan membantu siapaun meski hanya dibayar ala kadarnya saja. Nenek Masnah yang baik itu telah berpulang kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Selamta tinggal nenek..semoga kau tenang disisi-Nya. Amin.
*****
Sudah satu bulan nenek pergi meninggalkan Adit. Namun kesedihan itu belum hilang juga dari pikiran Adit. Rasa kehilangan oleh orang yang dia cintai.
"Adit..apa kau baik-baik saja?" Tanya bu Monik didalam kelas. Bu Monik adalah wali kelas Adit di kelas lima ini.
"Iya bu, Adit baik-baik saja." Jawab Adit. 
"Pulang sekolah nanti Adit ikut ibu Monik ke rumah ya, maukan?" Ajak ibu Monik. 
Dengan malu Adit menganggukkan kepalanya. Tanpa tahu kenapa ibu Monik mengajaknya main keumah.
Ibu Monik adalah warga baru dikampung kami. Beliau baru saja pindah bersama suami dan anaknya yang masih kecil: Lara nama anaknya. Usianya baru satu tahun. Dia tinggal bersama neneknya , ibu dari Ibu Monik. Pa Wawan, suami ibu Monik adalah seorang perwira polisi.
Rumah bu Monik sangat besar dan asri. Untuk ukuran kami dikampung terbilang megah. Adit duduk diteras rumah. Sambil menunggu bu Monik yang masuk kedalam rumah. Datanglah Lara dengan memakai roda berjalan menghampiri Adit. Gadis lucu itu langsung mengajak Adit bermain. Dengan rambut ikalnya dan senyum yang genit semakin menambah kelucuannya.
"Lara...ayo ketahuan ya nakal sama kakak Adit." Kata bu Monik keluar dari dalam rumah.
"Namanya siapa bu?" Tanya Adit.
"Namanya Lara. Bi...minumannya mana?" Kata bu Monik pada pembantu rumah tangganya. 
"Selamat siang...oh ini yang namanya Adit?" Datang nenek Lara , ibunya ibu Monik. 
"Iya bu.."
"Tampan ya...pandai lagi." Kata nenek Lara. Adit mencium tangan kanan nenek Lara. Adit hanya tersenyum dipuji seperi itu. Adit memang juara kelas. Semua kawan-kawannya senang pada Adit sebab dia selalu membantu kawan-kawannya belajar. 
"Begini Adit, ibu ingin meminta tolong pada Adit agar mau membantu ibu menjaga Lara dirumah, soalnya neneknya Lara minggu besok akan pulang ke Jakarta untuk mendampingi adik ibu yang sedang kuliah disana. Kasihankan adik ibu itu wanita jika ditinggal sendiri takut kenapa-napa." Terang bu Monik.
"Iya nak Adit, bukannya nenek tidak betah tinggal disini tapi nenek cemas jika meninggalkan anak gadis nenek swndirian dikota." Lanjut nenek Lara.
"Adit maukan? Adit masih bisa sekolah kok. Lagi pula kasihan bibi sumi tidak ada yang membantu. Lara sekarang semakin susah diawasi dit." Kata bu Monik.
"Adit mau bu, kebetulan Adit sedang tidak ada pekerjaan." Kata Adit dengan senangnya. Dia mulai menyukai gadis kecil ini yang minta untuk digendong.
"Tuh lihat dit, Lara saja senang pada Adit, ya kan sayang." Kata nenek Lara pula.
Mereka terawa bersama sambil menggoda Lara.
Gubuk tua ini adalah saksi kisah Adit dan nenek Masnah. Adit akhirnya tinggal bersama ibu Monik dan keluarganya. Keluarga yang telah menganggapnya sebagai anak kandung mereka sendiri. Adit datang ke gubuk ini saat libur sekolah saja. Adit menolak saat gubuknya ingin diperbaiki oleh bu Monik dan pak Wawan. Ya, kini Adit sudah duduk di sekolah lanjutan umum.
"Nenek..Adit datang mengunjungi nenek. Semoga nenek bahagia dirumah nenek yang baru di langit sana." Bisik Adit lirih sambil menaburkan bunga diatas pusara nenek Masnah. Angin semilir menerpa wajah Adit dengan lembut. Nenek Masnah pasti melihatnya dengan gembira, doanya ternyata tidak sia-sia. Kini, cucu kesayangannya telah menjadi anak yang pandai dan berguna bagi banyak orang.


Selasa, 16 Desember 2014

Diri Masih Bergetar

ketika dada masih bergetar melihat ketidak adilan
diri bertarung di atas kebenaran jalan-Nya
perang terjadi antara rohani dan badani
mempertaruhkan harga diri
lihatlah!
perang dahsyat Kurawa dengan Pandawa
mengikat kebenaran di dalam ketidak benaran
itulah ego diri
ego yang menutupi pintu hati
bersiasat dengan kebenaran diri
bukan dengan kebenaran hakiki
setan setan masuk ke bilik diri manusia
membisikan tingginya nilai nilai diri
nilai nilai yang mesti dipertahankan
menjadi ego yang membuat celaka
ketika dada masih bergetar melihat ketak adilan
waspadalah penuh kearifan
kebenaran akan terjungkir balikan
jika kebenaran itu tidak benar benar dipahami

Minggu, 14 Desember 2014

Gerimis ini turun untukmu

Dengan senyum yang bertenger di bibirnya, kaifa terus berjalan. Rintik gerimis yang berlahan turun tak menghalanginya untuk melangkah. Bahkan setengah berlari, tak sabar untuk segera tiba ke rumahnya. Untuk mengatakan pada Ardian akan berita gembira yang ia punya. Akhirnya ia bisa mendapatkan juara membaca puisi di sekolahnya. Padahal persaingan terlalu ketat. Tepat saat ia tiba di tempat yang ia tuju, ia melihat sosok yang ingin ia temui sedang asik membaca di kursi ruang tengah.
"Kak Ardian," terik Kaifa sontak membuat pria itu menoleh. Dan begitu mendapati dirinya melangkah mendekat, Ardian segera berdiri. Melepaskan kacamata yang ia kenakan berserta buku yang sedari tadi ia baca. Perhatiannya terjurus lurus kearah Kaifa.
"Kaifa, apa - apaan ini? Kenapa basah - basah begini. Sudah tau gerimis, memangnya tidak bisa menunggu hujan reda terlebih dahulu. Nanti kalau sakit bagaimana?" kata Ardian protektif.
Kaifa hanya nyengir. Sama sekali tidak terpengaruh akan kemarahan kakaknya. Tangannya justru malah mengacungkan piala yang ia bawa. "Kak, liat. Aku juara lomba baca puisi. Juara satu kak. Ya ampun aku seneng banget."
Ardian terdiam. Perhatiannya teralihkan kearah piala yang adiknya bawa. Walau ia masih kesal karena ulah adiknya yang nekat gerimisan, namun rasa kesal itu menghilang ketika melihat senyuman lebar di bibir Kaifa. Tak urung ia ikut tersenyum.
"Sudah kakak duga. Lagian kamukan memang sedari dulu suka puisi. Selamat ya. Adik kakak emang selalu membanggakan," puji Ardian kemudian.
"Padahal saingannya ketat banget lho. Bahkan.... Hatsim," ucapan Kaifa terputus oleh bersin yang tak mampu ia tahan.
"Tuh kan, kamu. Sudah, ganti baju dulu sana. Nanti kamu sakit. Harusnya kan kamu menunggu gerimis itu reda baru pulang. Kenapa harus nekat gitu sih."
"Soalnya aku sudah tidak sabar untuk menunjukan ini pada kakak," balas Kaifa. "Dan aku juga sangat menyukai gerimis," sambungnya lirih. Tadi ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan gerimis yang turun. Tapi sekarang, rasa dingin mulai merambati tubuhnya yang memang memiliki daya ketahanan tubuh yang lemah.
"Iya, kakak tau. Sudah, ganti baju sana. Biar kakak bikinkan teh hangat. Dan setelah itu, mari kita makan siang."
Kaifa tidak membalas. Ia hanya mengangguk manut sembari tersenyum tulus pada kakaknya. Satu - satunya keluarga yang ia punya setelah kedua orang tuanya pergi. Ia benar - benar bersukur memiliki kakak terbaik seperti Ardian. Selalu perhatian kepada dirinya, bahkan rela menjadi ayah sekaligus ibu untuknya.
Setelah menganti pakaiannya, Kaifa berniat untuk segera melangkah keluar. Menyusul kakaknya. Namun sebelum itu ia menyempatkan diri untuk melirik bayangannya di cerim. Terlihat pucat. Sesuka apapun ia pada gerimis, rasa itu hanya sepihak. Karena gerimis justru menjadi musuh terbesar bagi tubuhnya. Tak ingin membuat kakaknya merasa khawatir pada dirinya, Kaifa meraih bedak di atas meja dan memoleskan ke wajahnya. Tak lupa ia menambahkan lipsitk untuk menutupi efek pucat di bibirnya.
"Kaifa, bagaimana keadaanmu?" tanya Ardian sambil menyodorkan segelas teh kearah Kaifa yang kini duduk santai di meja makan baru kemudian ia duduk di hadapannya.
"Tenang saja kak, aku baik - baik aja kok," balas Kaifa sambil tersenyum meyakinkan.
Ardian tidak membalas. Sebaliknya matanya mengamati adiknya dengan seksama. Memastikan kondisi gadis itu sendiri. Setelah yakin semuanya baik baik saja ia mengalihkan perhatian pada makanan yang ada di meja. Ia memang sengaja menunggu adiknya pulang untuk makan bersama dari pada makan sendirian walaupun bik yem sudah memasakanya sedari tadi.
"Syukurlah, tapi lain kali pastikan untuk tidak gerimisan lagi. Kamu tau kan kalau kakak khawatir sama kondisi kesehatanmu?"
"Baik kak," angguk Kaifa manut.
"Ya sudah ayo kita makan. Nanti makanannya dingin lagi. Lagi pula bik yem memang sudah sedari tadi memasaknya," ajak Ardian yang lagi lagi di balas anggukan oleh Kaifa.
Waktu terus berlalu, siang itu Kaifa kembali pulang dengan senyum manis yang menghiasai wajahnya. Tak sabar untuk sampai ke rumah. Dan merasa sedikit kecewa ketika kakaknya tidak ada. Ia lupa kalau kakaknya hari ini masih kerja. Setelah berganti baju dan makan siang, ia duduk santai di beranda sambil membaca. Sesekali matanya menatap keluar, langit yang cerah berlahan meredup. Bahkan gerimis mulai turun. Merasa tertarik, Kaifa meletakan buku yang ia baca. Bangkit berdiri ke serambi teras, sebelah tangannya terulur. Menikmati rintik yang langsung turun ke tangannya.
Selalu begitu, alasan kenapa ia begitu menyukai gerimis adalah biasanya secara kebetulan atau memang takdir yang sudah di siapkan untuknya adalah akan selalu ada berita germbira yang menyertainya. Sejak dulu. Ketika ia mendapat rangking di kelas, ketika ia memenangkan lomba, saat merayakan kelulusannya bahkan saat tadi siang guru di sekolah mengatakan kalau ia akan mewakili sekolah untuk ikut dalam lomba puisi antar sekolah, gerimis itu tetap turun. Nilai plus yang ia sukai selain itu adalah, jika beruntung ia akan melihat pelangi setelahnya. Satu - satunya gerimis yang ia benci adalah saat kepergian orang tuanya. Ralat, itu bukan gerimis. Tapi hujan yang menguyur deras, membuat jalanan licin sehingga menyebapkan kecelakaan yang menimpa keduanya.
Tak ingin kenangan buruk merusak rasa bahagia di hati, terlebih ketika ia sangat beruntung memiliki seorang kakak seperti Ardian. Yang begitu dewasa dan selalu menyayanginya, Kaifa segera mengalihkan pemikirannya. Berharap kalau gerimis akan selalu menjadi pertanda baik untuknya. Untuk masa lalu, saat ini dan kedepan nantinya. Suara mobil yang berlahan memasuki pekarangan rumah, menarik perhatian Kaifa. Senyum langsung merekah ketika melihat sosok kakaknya yang berlahan mulai berjalan keluar menghampirinya.
"Kaifa, apa yang kamu lakukan disini. Disini terlalu dingin tau, nanti kalau kamu sakit bagaimana?" kalimat pertama yang meluncur dari mulut Ardian hanya dibalas dengan cibiran adiknya.
"Ck, kakak. Aku nggak selemah itu kali. Lagian aku hanya melihat - lihat. Bukan gerimisan."
Ardian tidak membalas. Kepalanya hanya mengeleng - geleng berlahan, baru kemudian mengajak adiknya untuk masuk kedalam rumah bersama.
"Lagian aku itu nungguin kakak. Soalnya aku punya berita bagus," kata Kaifa tidak sabar.
"Oh ya? Apa?" tanya Ardian sambil melongarkan dasi yang ia kenakan. Matanya menatap penuh kasih kearah adiknya.
"Aku akan mewakili sekolah untuk ikut lomba baca puisi tinggat kabupaten yang akan diadakan minggu depan."
"Tingkat kabupaten? Kalau begitu acaranya tidak disini?" tanya Ardian lagi.
Kaifa menggelang. "Tidak, acaranya akan di adakan di kota. Selama tiga hari. Ya ampun kak, aku seneng banget."
"Tiga hari? Tidak, memangnya siapa nanti yang akan menjaga kamu disana. Kakak nggak ngizinin."
"Tapi kak..."
"Kaifa, kamu masih kecil. Lagi pula kamu tidak pernah pisah dari kakak bahakan selama sehari pun. Bagaimana nanti kamu disana? Siapa yang akan merawatmu?"
"Tapi aku nggak sendirian. Temen ku juga ada yang ikut. Lagi pula gurunya juga," Kaifa mencoba menjelaskan.
"Sekali tidak tetap tidak Kaifa. Kakak nanti pasti akan khawatir sama kamu. Sudah jauh, pake acara menginap lagi."
Kaifa menunduk dalam. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa tidak suka dengan sikap protektif Ardian padanya.
"Kamu mengertikan?" tanya Adin lagi.
Kaifa hanya mengangguk. Sebisa mungkin menahan air mata kekecewaan di matanya. Walau ia sangat ingin untuk ikut, ia tetap lebih tidak ingin membantah kakaknya. Terlebih membuatnya mengkhwatirkan dirinya.
"Baik kak. Besok Kaifa akan bilang sama guru kalau Kaifa nggak jadi ikut."
Ardian terdiam. Matanya menatap kearah adiknya yang hanya menundukan kepala melihat kelantai. Sama sekali tidak menoleh kearah dirinya. Ia tau, kalau adiknya pasti kecewa padanya. Sebenarnya ia juga tidak tega, hanya saja ia lebih tidak tega lagi melepaskan adiknya yang masih SMP untuk pergi.
Setelah seminggu berlalu, Ardian menyadari kalau adiknya sekarang sudah terlihat lebih murung. Walau jika di hadapanya gadis itu terlihat seperti baik - baik saja. Tidak pernah menyinggung masalah lomba di sekolahnya, tapi Ardian tau, kalau Kaifa pasti masih kecewa pada dirinya.
Karena itulah, sepulang dari kerja Ardian sengaja mampir untuk membelikan cake coklat kesukaan adiknya. Selama ini jika suasana hati gadis itu buruk, biasanya akan segera membaik setelah memakan cake coklat. Setelah membayar terlebih dahulu, Ardian bergegas melangkah meninggalkan toko. Tepat di tangga untuk berlalu, tak sengaja kakiknya menginjak kulit pisang yang di buang orang kurang ajar dengan sembarangan. Sebisa mungkin mempertahankan diri untuk tidak jatuh terduduk, pada akhirnya Ardian berhasil. Hanya sayangnya, cake yang baru saja ia beli kini sudah jatuh tergeletak di lantai yang kotor.
Merasa ragu untuk segera berlalu, Ardian lebih memilih kembali masuk kedalam toko. Sayangnya, ternyata cake yang ia beli tadi adalah sisa satu - satunya di sore itu. Mengetahui kalau sang adik tidak menyukai rasa lainnya, Ardian memutuskan untuk kembali lagi besok dan segera pulang.
Saat memasuki pekarangan rumahnya, Adin merasa terkejut. Tidak seperti biasanya, terdapat beberapa orang yang sedang berdiri menanti di beranda rumah. Wajahnya terlihat kusut. Entah dapat keyakinan darimana, Ardian merasa firasa buruk menghampirinya.
"Maaf, ada yang bisa di bantu?" tanya Ardian sambil menghampiri.
Beberapa orang tersebut tanpa saling pandang. Baru kemudian balik bertanya. "Maaf apa benar ini rumahnya saudari Kaifa andirani?"
Kepala Ardian mengangguk. "Benar, dia adik saya. Memangnya ada apa dengannya?"
Dan jawaban yang di berikan benar - bener mengejutkan. Cukup untuk membuat Adin merasa kalau dunianya gelap. Ia benar - benar tidak mempercayai itu. Tepatnya ia tidak ingin mempercayainya. Dan berlahan tubuhnya ambruk ketanah bersama kesadaran yang berlahan menghilang seiring dengan orang - orang yang memenggil- manggil namanya.
***
Lama Ardian duduk terdiam disana. Sendiri menatap kearah gundukan tanah baru yang masih basah. Tempat peristirahatan adiknya untuk yang terakhir kali. Tanpa bisa di cegah, air mata terus mengalir di pipinya. Masih tidak bisa percaya kalau Kaifa telah tiada. Sebuah kecelakaan beruntun yang terjadi kemaren telah memisahkan dirinya. Dan menurut saksi mata, kaifa memang sedang melamun saat menyeberangi jalan raya. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis kecil itu, tapi Ardian yakin itu mungkin karena dirinya. Tentang rasa keberatan ia untuk kepergian adiknya selama tiga hari yang justru kini malah untuk selamanya.
Dan seolah langit pun ikut bersedih. Cuaca yang awalnya cerah berubah mendung dan berlahan gerimis mulai turun. Hanya gerimis, membuat Ardian berlahan mendongak menatap kelangit sembari bergumam...
"Kaifa, gerimis ini turun untuk mu. Bukan untuk menemani tawa, tapi ikut menangis mengantar kepergianmu. Semoga dirimu tenang disana..."

Jumat, 12 Desember 2014

Sepasang Mata Ungu

"Helen...."
"Cepat! Buka pintu itu! Atau ..." Lelaki itu mengancam.
"Tolong jangan sakiti dia."
Kupandangi lelaki itu lekat-lekat. Dia adalah Neptun, keturunan dari kaum bermata merah yang tersisa setelah kedatangan pasukan bersayap emas menghancurkan seluruh kaumnya. Dan itu juga terjadi padaku sebelumnya, kaumku telah musnah. Hanya aku dan Helen yang tersisa.
Perlahan-lahan kudekati lagi pintu itu. Tak hilang akal, aku berusaha membujuk Neptun untuk melepaskan Helen.
"Ini bukanlah pertanyaan. Pintu ini hanya bisa dibuka oleh cahaya sepasang mata biru milikku dan Helen. Jadi, tolong lepaskan Helen dan pintu itu akan jadi milikmu."
"Kau mau membual?"
"Tidak. Lihatlah garis-garis yang menuju lubang kunci ini, hanya cahaya sepasang mata biru yang bisa membukanya."
Neptun akhirnya terbujuk, dia percaya dan mau menuruti ucapanku. Tentu saja aku membual, karena pancaran cahaya sepasang mata biru cukup ampuh juga untuk membunuhnya. Ternyata, dia melupakan itu.
"Helen, cepatlah."
"Jack...!!!"
Helen berlari ke arahku sambil kesakitan, tangannya meremas-remas pinggang yang sudah dipasang sabuk sihir oleh Neptun. Rupanya Neptun tak bodoh, melepaskan Helen begitu saja.
"Tenanglah. Jangan sakiti dia."
"Ayo, cepat! Kau sudah membuang banyak waktuku."
Aku menatap Helen yang masih merintih kesakitan. Mata biruku beradu dengan matanya dan membentuk sebuah cahaya menyilaukan.
"Ayo, cepat...!"
Aku memberi isyarat pada Helen untuk mengarahkan cahaya itu pada Neptun. Tetapi, gagal. Neptun dengan cepat menghindar, dia sekarang bertambah marah. Sabuk itu malah membuat Helen semakin menjerit kesakitan.
"Rasakan ini! Kau sudah main-main!" bentak Neptun.
"Hentikan. Aku mohon hentikan. Maafkan aku."
"Aku beri kau satu kesempatan lagi. Ayo, cepat buka sekarang!"
'Braaakkk...!!!'
Pintu terbuka dan suara tangis seorang wanita terdengar sangat jelas di telingaku. Neptun segera berlari mendekati suara itu.
"Kau sudah mendapatkan pintu itu, sekarang lepaskan sabuk di tubuh adikku ini," pintaku pada Neptun.
"Sarah....!" teriak Neptun.
Aku dan Helen terkejut mendengar Neptun memanggil nama wanita itu Sarah. Kuurungkan sejenak niatku untuk pergi dari tempat ini.
"Jack...."
Aku tak percaya, wanita itu memanggil namaku. Dua pasang cahaya mata merah keluar dari pintu. Terlihat sosok wanita berjalan bersama Neptun. Wanita itu sangat kukenali. Sarah, yang saat bersamaku dulu diculik oleh pasukan bersayap emas.
"Jadi, kau masih hidup? Aku telah lama mencarimu, Sarah."
"Jack, kenapa kau bisa ada di sini?"
"Dia yang memaksaku untuk berada di sini. Dia menculik adikku," jawabku sambil memeluk Helen dan menunjuk ke arah Neptun.
Kulihat Neptun tak banyak bicara. Dia seperti merasa bersalah kepadaku. Tetapi, aku tahu dia melakukan semua ini demi untuk menyelamatkan Sarah.
"Dia kakak tertuaku yang masih hidup, Jack."
"Kakak?"
"Ya, dia kakakku."
"Ayolah..., kita pergi saja dari sini, Sarah." Neptun memotong pembicaraanku dengan Sarah.
"Tidak, Kak. Tidak sekarang. Kita harus bersatu menghancurkan pasukan bersayap emas itu. Aku pernah mendengar bahwa pasukan itu hanya bisa dimusnahkan oleh sepasang mata ungu."
"Jadi...."
"Kakak dan Jack harus bisa menyatukan cahaya dari mata kalian. Aku dan Helen juga akan melakukan hal yang sama."
Setelah mendengar penjelasan Sarah, aku dan Neptun menyiapkan siasat dibantu Helen dan Sarah untuk segera menghancurkan pasukan bersayap emas dan mengambil semua yang pernah mereka rampas.



Rabu, 10 Desember 2014

Gadis Itu Marisa

Beranda rumah sakit ini, terasa sunyi di malam hari. Embusan angin malam ini menggigilkan tubuh kurusku.
Sejak dua hari lalu aku harus rawat inap di sini, karena kemoterapi yang harus kujalani. Setiap sore, Kuhabiskan di beranda depan kamar yang sunyi ini.
Terlihat di kejauhan, seorang gadis manis berambut pirang dan sedikit acak-acakan, tubuhnya lebih kurus daripada tubuhku, wajahnya yang terlihat sebagian, agak tirus dan pucat. Ia di sana, di bangku taman yang menghadap pohon besar, yang di sampingnya terdapat satu-satunya bunga mawar putih.
Ia hanya duduk diam, tak bergerak, hanya dalam posisi menghadap ke sebuah pohon besar. Bajunya menunjukkan kalau ia pasien rumah sakit ini.
Semakin saksama aku memperhatikannya, beberapa helai rambutnya berjatuhan di atas pundaknya yang datar. Sayang, aku tidak cukup berani untuk mendekati dan menegurnya.
Hari berikutnya, aku kembali menghabiskan waktu sore di tempat biasa. Ia ada lagi di sana.
"Sus," panggilku pada seorang perawat yang kebetulan lewat.
"Ada yang bisa saya bantu?"
"Gadis itu, pasien dari kamar mana?" tanyaku menunjuk ke arah gadis itu. Namun, aku tercengang, mendapatinya tidak di sana.
"Yang mana, Dek?"
"Tadi, ada di sana, Sus."
Karna penasaran, aku mendekati bangku itu perlahan. Sesekali melemparkan pandangan ke kanan, lalu ke kiri.
"Hah!! Gadis itu ...," batinku.
Lagi-lagi mataku dibuatnya seperti berdusta. Ia muncul tiba-tiba. Dan langit, tiba-tiba berubah gelap. Matahari pergi tanpa pamit. Mendung menyelimutinya dan terlelap di atas sana.
"Hai!" sapaku ramah.
Ia diam. Rambutnya terlihat semakin tipis. Kepalanya bergerak sesekali ke kanan dan ke kiri seperti mendendangkan sebuah lagu.
"Aku, Safira. Ka... Kamu, siapa, ya?" tanyaku agak gugup.
Ia masih tetap diam. Terdengar senandung lagu yang agak asing di telingaku.
Rasa penasaran ini menuntunku untuk lebih mendekatinya. Namun, aku masih belum dapat melihat dengan jelas wajahnya yang terlihat tirus, dan pucat dari samping. Ia seperti menggenggam sebuah benda di kedua tangannya.
"Apa yang kaubawa itu?"
Ia tetap diam dan memalingkan wajahnya.
Dengan hati-hati, aku duduk di sampingya. Kali ini sangat dekat. Dan aku dapat mencium aroma tubuhnya yang khas, yang belum pernah kucium sebelumnya.
"Aku hanya ingin menjadi temanmu." Kucoba membujuknya.
Ia tetap bersenandung sambil menggerakkan kepalanya.
"Lagu itu, terdengar asing. Apa judulnya?" Aku kembali bertanya, berharap ia menjawab.
Ia diam sama sekali. Kepalanya berhenti bergerak. Badannya bergerak seperti mengambil ancang-ancang. Lalu--
"Aku Marisa. Tolong aku," ucapnya parau.
"Apa aku bisa?" tanyaku.
Ia memutar badannya, dan--
"Bantu aku pasang lagi mata biruku yang indah ini."
Aku loncat seketika dari posisi dudukku setelah melihat matanya yang berlubang dan di belatungi.
Bugh!!! Aku jatuh lemas. Pandanganku kabur, dan tiba-tiba, aku berada di lantai kamarku.
"Bantu aku!" kata sebuah suara dari seorang gadis yang berdiri di hadapanku.
"Tidaaakk!!!"



Perempuan Bermata Samudra

Siang menjelang sore ini, aku kembali mengintip seorang gadis jelita dari suatu tempat. Ia memandang jauh ke samudra yang memantulkan bias biru di matanya. Ah! Ia semakin menawan.
Bulir-bulir bening kembali menggelincir di pipinya yang terbakar mentari. Ingin sekali kurengkuh dalam dekapku. Namun, tak mungkin bisa.
"Ibu? Kapan Ibu menemani Arimbi lagi? Lihat Ibu! Rambut Arimbi tidak ada yang menyisir," ujarnya dalam diam disertai isak. "Kenapa Ibu ninggalin Arimbi sendirian?" tambahnya.
Perkataan yang sama setiap hari, selama sepuluh tahun. Tak ada lagi yang dikatakannya selain itu. Ia ulang-ulang sampai waktu pulang menjelang.
"Ayah melakukannya lagi pada Arimbi, Bu."
Ombak berdebur kencang hari ini, angin pun sedang tak bersahabat. Arimbi membersihkan sedikit pasir yang menempel pada roknya. Ia pulang lebih awal dari biasanya.
Di perjalanan, seperti biasa ia bersenandung. Melagukan apa saja yang ia mampu. Sejak kepergian ibunya, jiwa Arimbi terguncang.
Dewina, Ibu Arimbi meninggal dihakimi warga kampung. Dewina dituduh berselingkuh dengan Kepala Desa. Istri Pak Kades geram, dikumpulkannya warga kampung untuk menghabisi nyawa Dewina. Orang-orang kampung menyeret Dewina dengan paksa saat sedang tidur bersama Arimbi.
"Apa ini? Kalian mau apa?" tanyanya.
"Dasar wanita murahan!" Warga bersautan menumpah-serapah dengan kasar.
Dewina diarak bersama Pak Kades. Pakaian mereka dilucuti dengan paksa. Lalu, mereka dibakar hidup-hidup dan mayat mereka ditenggelamkan di laut.
Arimbi melihat semua kejadian itu saat berusaha mencari ayahnya. Ia histeris hingga pita suaranya putus dan ia bisu. Tak ada yang mengerti perkataannya, selain aku.
Sesampainya di rumah, tanpa ragu, ia langsung masuk ke rumah mencari sosok ayahnya. Namun, di ruang tamu dan dapur tidak ada. Lamat-lamat, ia mendengar suara perempuan. Ia dekati sumber suara. Semakin dekat semakin jelas bahwa itu suara perempuan.
"Ibu...."
Dibukanya pintu itu, namun, ia kaget bukan main. Mata sebiru samudranya membulat. Di hadapannya tersuguh pemandangan menyakitkan. Ayahnya tengah bergumul dengan Istri mantan Pak Kades.
Arimbi berlari ke arah dapur, diambillah sebilah pisau. Lalu, ia kembali masuk ke kamar ayahnya. Tanpa pikir panjang, ia tikam dada ayahnya, berkali-kali!
Bu Kades lari tanpa sehelai sebenang pun. Arimbi tak peduli. Ia terus menikamkan pisau itu.
"Rasakan! Kau membunuh Ibu! Kau juga selalu melampiaskan nafsu binatangmu padaku. Kini, aku tidak takut lagi!" racaunya dalam diam. Matanya yang bagiku selalu biru, kini meluapkan amarah memuncak.
Setelah ayahnya tak bernapas lagi, ia lari ke tempat merenungnya selama ini. Dipandangi lautan itu beberapa menit. Lalu, perlahan ia melangkahkan kakinya ke lautan. Semakin ke tengah dan akhirnya ia lenyap.
Aku ingin mencegahnya. Namun, apa dayaku. Aku hanya seekor Crypsirina Temia*. Mataku yang biru telah menyaksikan adegan demi adengan hidup perempuan bermata samudra. Ia dihianati nasib. Kini, ia pergi. Tak 'kan kembali. Menemui ibunya yang telah lama pergi.


* Crypsirina Temia: Burung Tangkar Cetrong atau dikenal juga sebagai Murai Irian. Termasuk famili gagak-gagakan. Bulunya berwarna abu gelap dengan ekor menyerupai sendok dan matanya berwarna biru.