Negeri Kincir itu berdiri megah di atas awan. Lampu kristal menghias
indah mengelilingi istana. Sebuah kamar dirancang khusus, dindingnya
penuh ukiran wajah seribu bidadari. Dengan balutan selendang sutera
seolah-olah mengajak menari menghibur diri, sepanjang hari. Di depan
istana ada taman yang mahaluas, rimbun penuh bunga melati.
Tetapi, semua itu tidaklah membuat Putri Nikirana bahagia. Sang Raja,
tak lain adalah Ayahandanya. Selalu melarang jika ia hendak turun ke
bumi.
”Ayahandaku, izinkanlah Ananda untuk pergi ke telaga cinta
bawah sana.” Putri Nikirana menitikkan air mata saat permintaannya tak
dikabulkan.
”Bukankah sudah kubuatkan kolam indah seperti telaga
cinta itu. Kenapa masih ingin ke bumi yang gersang tanpa pepohonan
meneduhkan?” jawab Sang Ayah sembari menikmati teh melati bikinan Sang
Permaisuri.
”Ibunda, Ananda ingin berjumpa dengan Legawa.” Kini ia beralih meminta izin dari Ibundanya.
”Dengarlah, Sayang. Sungguh, di bumi itu orang-orangnya licik. Mereka
akan menggunakan segala cara untuk bisa mendapatkanmu. Ingatlah! Kau
adalah milik kami. Ayahandamu sangat menyayangimu.”
Setelah
mendengar penuturan Ibundanya, Putri Nikirana semakin bersedih. Tak ada
harapan lagi, pikirnya. Setiap hari ia hanya mengurung diri di kamar
yang sepi. Senyum ceria seribu bidadari tak mampu mengobati luka
hatinya.
Musim penghujan tiba. Di langit mendung-mendung itu
bergelantung manja. Mereka memainkan anak-anak awan, menyatukannya
menjadi gumpalan-gumpalan hitam berisi hujan air mata yang siap
dijatuhkannya ke bumi. Dalam sedu-sedannya ia teringat akan janji pada
Legawa.
’Ia bersedia menghabiskan hari-hari bersama.’
Pertemuan yang tak disengaja sebulan yang lalu, saat Putri Nikirana
diajak Ayahandanya untuk mencari ramuan awet muda. Di saat melintasi
hutan semak berduri. Kaki kuda yang membawa kereta kencana mereka
tertancap duri hingga keretanya hampir terguling di sisi telaga cinta.
Saat itu Legawa sedang mengumpulkan semak-semak kering yang akan
dibawanya pulang untuk membuat perapian kala malam tiba. Ia melempar
keranjang yang hampir penuh dengan semak keringnya itu. Ditariknya
kereta kencana yang hampir saja terjebur ke dalam telaga.
”Hai, manusia bumi. Apa yang kauingini? Karena kau telah menolong kami. Maka semua permintaanmu akan kukabulkan.”
”Tidak, Tuan. Aku tak menginginkan apa-apa,” jawab Legawa memberikan
senyum termanisnya. Saat itu Putri Nikirana tersentuh hatinya. Baru
pertama menjumpai orang berhati suci. Membantu tanpa mau dibalas.
Sang Raja punya kelebihan, mampu menebak isi hati. Ia tahu Putri
tercintanya telah menjatuhkan hati pada manusia bumi. Maka dengan segala
cara ia berusaha menghalangi pertemuan mereka.
Salah satu cara
untuk bisa menghentikan kekhawatiran akan putrinya adalah menjodohkannya
dengan putra tunggal dari Raja Negeri Angin. Kebetulan Raja Negeri
Angin sedang mencari menantu. Maka kesepakatan dua raja ini menyatukan
putra-putri mereka. Juga menyatukan Negeri Kincir Angin.
Mengetahui ia telah dijodohkan tanpa persetujuan. Putri Nikirana mengunci diri.
’Ayahanda, Ananda tidak mau dipersunting selain Legawa. Ananda tahu,
Ayahanda telah membinasakan Legawa saat ini. Ibunda telah menceritakan
semuanya. Maka dari itu biarlah sekarang aku menjadi sabit di
malam-malammu. Hanya di malam purnama kuizinkan engkau menjumpaiku. Saat
itu, Ananda akan datang menerangi hatimu yang penuh kegelapan.’
Saat Sang Raja kembali dari bumi ia mendapati putrinya tergantung dengan
selendang sutera dari salah satu bidadari yang diukirnya sendiri.
Minggu, 28 Desember 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar