Minggu, 28 Desember 2014

Kisah Cinta Putri Nikirana

Negeri Kincir itu berdiri megah di atas awan. Lampu kristal menghias indah mengelilingi istana. Sebuah kamar dirancang khusus, dindingnya penuh ukiran wajah seribu bidadari. Dengan balutan selendang sutera seolah-olah mengajak menari menghibur diri, sepanjang hari. Di depan istana ada taman yang mahaluas, rimbun penuh bunga melati.
Tetapi, semua itu tidaklah membuat Putri Nikirana bahagia. Sang Raja, tak lain adalah Ayahandanya. Selalu melarang jika ia hendak turun ke bumi.
”Ayahandaku, izinkanlah Ananda untuk pergi ke telaga cinta bawah sana.” Putri Nikirana menitikkan air mata saat permintaannya tak dikabulkan.
”Bukankah sudah kubuatkan kolam indah seperti telaga cinta itu. Kenapa masih ingin ke bumi yang gersang tanpa pepohonan meneduhkan?” jawab Sang Ayah sembari menikmati teh melati bikinan Sang Permaisuri.
”Ibunda, Ananda ingin berjumpa dengan Legawa.” Kini ia beralih meminta izin dari Ibundanya.
”Dengarlah, Sayang. Sungguh, di bumi itu orang-orangnya licik. Mereka akan menggunakan segala cara untuk bisa mendapatkanmu. Ingatlah! Kau adalah milik kami. Ayahandamu sangat menyayangimu.”
Setelah mendengar penuturan Ibundanya, Putri Nikirana semakin bersedih. Tak ada harapan lagi, pikirnya. Setiap hari ia hanya mengurung diri di kamar yang sepi. Senyum ceria seribu bidadari tak mampu mengobati luka hatinya.
Musim penghujan tiba. Di langit mendung-mendung itu bergelantung manja. Mereka memainkan anak-anak awan, menyatukannya menjadi gumpalan-gumpalan hitam berisi hujan air mata yang siap dijatuhkannya ke bumi. Dalam sedu-sedannya ia teringat akan janji pada Legawa.
’Ia bersedia menghabiskan hari-hari bersama.’
Pertemuan yang tak disengaja sebulan yang lalu, saat Putri Nikirana diajak Ayahandanya untuk mencari ramuan awet muda. Di saat melintasi hutan semak berduri. Kaki kuda yang membawa kereta kencana mereka tertancap duri hingga keretanya hampir terguling di sisi telaga cinta. Saat itu Legawa sedang mengumpulkan semak-semak kering yang akan dibawanya pulang untuk membuat perapian kala malam tiba. Ia melempar keranjang yang hampir penuh dengan semak keringnya itu. Ditariknya kereta kencana yang hampir saja terjebur ke dalam telaga.
”Hai, manusia bumi. Apa yang kauingini? Karena kau telah menolong kami. Maka semua permintaanmu akan kukabulkan.”
”Tidak, Tuan. Aku tak menginginkan apa-apa,” jawab Legawa memberikan senyum termanisnya. Saat itu Putri Nikirana tersentuh hatinya. Baru pertama menjumpai orang berhati suci. Membantu tanpa mau dibalas.
Sang Raja punya kelebihan, mampu menebak isi hati. Ia tahu Putri tercintanya telah menjatuhkan hati pada manusia bumi. Maka dengan segala cara ia berusaha menghalangi pertemuan mereka.
Salah satu cara untuk bisa menghentikan kekhawatiran akan putrinya adalah menjodohkannya dengan putra tunggal dari Raja Negeri Angin. Kebetulan Raja Negeri Angin sedang mencari menantu. Maka kesepakatan dua raja ini menyatukan putra-putri mereka. Juga menyatukan Negeri Kincir Angin.
Mengetahui ia telah dijodohkan tanpa persetujuan. Putri Nikirana mengunci diri.
’Ayahanda, Ananda tidak mau dipersunting selain Legawa. Ananda tahu, Ayahanda telah membinasakan Legawa saat ini. Ibunda telah menceritakan semuanya. Maka dari itu biarlah sekarang aku menjadi sabit di malam-malammu. Hanya di malam purnama kuizinkan engkau menjumpaiku. Saat itu, Ananda akan datang menerangi hatimu yang penuh kegelapan.’
Saat Sang Raja kembali dari bumi ia mendapati putrinya tergantung dengan selendang sutera dari salah satu bidadari yang diukirnya sendiri.

0 komentar:

Posting Komentar