Rabu, 24 Desember 2014

Jikalau Bulan Sudah Purnama

Sudah tujuh belas tahun wanita itu memangku bulan. Bulan sabit yang terlahir dari rahimnya yang entah sudah dihamili oleh siapa. Ia begitu sayang, begitu perhatian, tak pernah lupa mencoret angka-angka di kalender jika bulan sabit telah melengkung di matanya. Itu adalah bukti bahwa kehadiran sebuah bulan sangat penting baginya.
Tak jarang, wanita itu dengan lugu menatap bulan sabitnya. Seperti sedang terjadi percakapan batin antara ibu dan anak atau wanita dan kekasihnya, sangat romantis. Malam baginya adalah taman-taman surga dibalut beberapa awan putih, tampak memesona seluruh penghuni angkasa. Ia tak memikirkan apa-apa, selain kehangatan dan kebersamaan yang tercipta di antaranya.
Jika dibilang cemburu, pastilah semua orang akan cemburu melihat betapa kebersamaan itu terjalin sangat kuat. Hujan pun tak sanggup memisahkan keduanya, apalagi lolong serigala malam yang hanya mengaum di saat-saat tertentu saja, saat lapar perutnya meronta-ronta untuk segera mencari mangsa, kemudian akan tidur dalam waktu yang cukup lama setelah merasa kenyang.
Semua cemburu, semua merasa tak senang, dan semua bedebah akan menyembunyikan muka aslinya di balik layar. Mereka hanya tahu kesenangan, pandai memilih jalan yang mulus, dan ‘sok’ menjadi pahlawan saat ada berita kehilangan berkumandang di seantero jagat raya. Bulan redup, bulan redup.
”Mereka itu siapa, Bu?” tanya si bulan sabit.
“Mereka orang yang sangat perhatian pada negeri ini, Nak,” jawab si wanita itu dengan lembut.
“Mereka itu nyata, ya, Bu?”
”Tentu saja, Nak. Mereka bahkan bisa berada di antara kita, termasuk dalam hati kita.”
Percakapan itu berlangsung lama, hingga wanita itu menggigil dirasuki bayangan orang-orang yang tak jelas dari mana asalnya. Ia sangat ingat betapa kebersamaan yang sudah lama tercipta dirusak begitu saja oleh orang-orang yang ‘pintar’ mencari peluang.
”Jika aku besar nanti, Bu, aku ingin cemburu.”
“Mau cemburu sama siapa, Nak?”
“Cemburu pada kelakuannya yang tak ada seorang pun mengingatkan.”
“Owalaaah. Sudahlah, Nak. Biarkan saja. Toh nanti juga tercium, bangkainya.”
“Mati, Bu?”
”Iya, mati, Nak. Dan sepertinya, Ibu dan bapakmu yang sudah terpisah lama ini sebentar lagi akan dipertemukan, kemudian akan tetap bersama selamanya dalam sebuah ritual kematian.”
Jika hidup untuk mati, jika bersama untuk berpisah, dan jika-jika yang lain sudah bermunculan satu per satu dalam pikiran sang bulan. Jika yang sangat mengganggu sekali keinginannya untuk tetap mekar di setiap angka yang berjajar di kalender, sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, dan itu tak mengubah apa pun yang ada dalam dirinya.
Wanita itu sudah semakin renta, memangku pun tak bisa. Sang bulan sudah purnama berusia ratusan tahun lamanya. Tentu saja sendirian, sebatang kara dan tak punya siapa-siapa lagi. Tetapi pelajaran untuk tidak takut kepada siapa-siapa adalah hal utama yang selalu diingat oleh sang bulan purnama. Hanya ada satu yang ia takutkan: gerhana. Saat semua-semua berpura-pura gelap seperti malam, berpura-pura lupa dalam sejekap, dan sang bulan selalu jadi korban.

1 komentar: