Sudah tujuh belas tahun wanita itu memangku bulan. Bulan sabit yang
terlahir dari rahimnya yang entah sudah dihamili oleh siapa. Ia begitu
sayang, begitu perhatian, tak pernah lupa mencoret angka-angka di
kalender jika bulan sabit telah melengkung di matanya. Itu adalah bukti
bahwa kehadiran sebuah bulan sangat penting baginya.
Tak jarang,
wanita itu dengan lugu menatap bulan sabitnya. Seperti sedang terjadi
percakapan batin antara ibu dan anak atau wanita dan kekasihnya, sangat
romantis. Malam baginya adalah taman-taman surga dibalut beberapa awan
putih, tampak memesona seluruh penghuni angkasa. Ia tak memikirkan
apa-apa, selain kehangatan dan kebersamaan yang tercipta di antaranya.
Jika dibilang cemburu, pastilah semua orang akan cemburu melihat betapa
kebersamaan itu terjalin sangat kuat. Hujan pun tak sanggup memisahkan
keduanya, apalagi lolong serigala malam yang hanya mengaum di saat-saat
tertentu saja, saat lapar perutnya meronta-ronta untuk segera mencari
mangsa, kemudian akan tidur dalam waktu yang cukup lama setelah merasa
kenyang.
Semua cemburu, semua merasa tak senang, dan semua
bedebah akan menyembunyikan muka aslinya di balik layar. Mereka hanya
tahu kesenangan, pandai memilih jalan yang mulus, dan ‘sok’ menjadi
pahlawan saat ada berita kehilangan berkumandang di seantero jagat raya.
Bulan redup, bulan redup.
”Mereka itu siapa, Bu?” tanya si bulan sabit.
“Mereka orang yang sangat perhatian pada negeri ini, Nak,” jawab si wanita itu dengan lembut.
“Mereka itu nyata, ya, Bu?”
”Tentu saja, Nak. Mereka bahkan bisa berada di antara kita, termasuk dalam hati kita.”
Percakapan itu berlangsung lama, hingga wanita itu menggigil dirasuki
bayangan orang-orang yang tak jelas dari mana asalnya. Ia sangat ingat
betapa kebersamaan yang sudah lama tercipta dirusak begitu saja oleh
orang-orang yang ‘pintar’ mencari peluang.
”Jika aku besar nanti, Bu, aku ingin cemburu.”
“Mau cemburu sama siapa, Nak?”
“Cemburu pada kelakuannya yang tak ada seorang pun mengingatkan.”
“Owalaaah. Sudahlah, Nak. Biarkan saja. Toh nanti juga tercium, bangkainya.”
“Mati, Bu?”
”Iya, mati, Nak. Dan sepertinya, Ibu dan bapakmu yang sudah terpisah
lama ini sebentar lagi akan dipertemukan, kemudian akan tetap bersama
selamanya dalam sebuah ritual kematian.”
Jika hidup untuk mati,
jika bersama untuk berpisah, dan jika-jika yang lain sudah bermunculan
satu per satu dalam pikiran sang bulan. Jika yang sangat mengganggu
sekali keinginannya untuk tetap mekar di setiap angka yang berjajar di
kalender, sepanjang hari, sepanjang bulan, sepanjang tahun, dan itu tak
mengubah apa pun yang ada dalam dirinya.
Wanita itu sudah semakin
renta, memangku pun tak bisa. Sang bulan sudah purnama berusia ratusan
tahun lamanya. Tentu saja sendirian, sebatang kara dan tak punya
siapa-siapa lagi. Tetapi pelajaran untuk tidak takut kepada siapa-siapa
adalah hal utama yang selalu diingat oleh sang bulan purnama. Hanya ada
satu yang ia takutkan: gerhana. Saat semua-semua berpura-pura gelap
seperti malam, berpura-pura lupa dalam sejekap, dan sang bulan selalu
jadi korban.
Rabu, 24 Desember 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Ini karya Om Hendrie. Kenapa bisa ada di sini?
BalasHapus