Bintang
berjalan perlahan, menyusuri jajaran lukisan yang dipajang di dinding.
Seperti biasa, setiap minggu Bintang selalu mengunjungi Galeri Lukisan
ini. Tak bosan-bosan memandangi lukisan yang pernah dia amati
sebelumnya. Dia melihat ada satu lukisan baru yang dipajang di sudut
utara Galeri. Bintang berjalan menuju tempat lukisan yang baru digantung
di dinding itu. Dengan seksama, Bintang mengamati lukisan itu. Lukisan
seorang kakek berkacamata yang sedang menulis, di sebelah kirinya ada
seorang bocah lelaki yang mengenakan seragam putih merah.
Lama..., Bintang mengamati lukisan ini cukup lama. Beberapa saat
kemudian, ada seorang pemuda berdiri di samping kirinya. Bintang tetap
bergeming.
“Si Kakek sedang menggambarkan sesuatu untuk anak itu.” Si Pemuda mengeluarkan suaranya.
“Bisa saja dia sedang menulis, bukan?” jawab Bintang, tetap tidak menoleh. Mengkritisi pernyataan sok tahu si Pemuda.
“Tidak, dia sedang menggambar untuk anak itu. Bocah yang mengenakan seragam SD itu.”
“Dia sedang menggambar apa?”
“Jadi, suatu hari, Si Bocah pulang sekolah. Dia mendapatkan nol untuk
ujian matematikanya. Dia takut akan dimarahi oleh bapaknya. Saat waktu
pulang sekolah tiba, dia tidak langsung pulang sekolah. Dia duduk di
pinggir lapangan, di atas pohon yang tumbang. Meratapi nilai sekolahnya
yang buruk. Menangis. Kemudian datang seorang lelaki tua. Duduk di
sampingnya.”
“Lalu...?” Bintang menoleh ke arah kirinya. Pemuda itu ikut menoleh menghadap ke wajah Bintang.
“Si Kakek itu mengambil kertas ujian yang berada di tangan si Bocah.
Kemudian mengeluarkan pensil, dan memulai menggambar sesuatu di atas
kertas itu. Setiap angka yang ada di atas kertas, dia hubung-hubungkan
menjadi gambar yang luar biasa. Membuat di anak kecil itu terpukau.”
“Apa yang digambar olehnya?” tanya Bintang yang mulai penasaran.
“Rahasia.”
“Well, anda memang pengarang cerita yang hebat. Siapa nama anda?
Seharusnya anda jadi penulis!” kata Bintang yang agak kesal dengan
jawaban si Pemuda. Merasa tertipu.
“Saya tidak mengarang cerita. Nama saya Awan Tenggara.” Si Pemuda tersenyum, kemudian pergi meninggalkan Bintang.
Mata Bintang mengikuti arah perginya Awan.
'Dasar, ngawur!' pikir Bintang.
Kemudian dia kembali mencermati lukisan di hadapannya. Di bagian bawah
kanan lukisan ada sebuah catatan dan tanda tangan pelukis.
‘Ini adalah kali pertama saya mengenal dunia.
Dunia saya saat ini.
Melihat deretan aritmatika berubah wujud
menjadi mahakarya mempesona.
Dunia saya saat ini.
Melihat deretan aritmatika berubah wujud
menjadi mahakarya mempesona.
Awan Tenggara.’
Bibir bawah Bintang seketika terbuka, dan tangannya perlahan mulai
menyentuh bibir. Dia menoleh ke arah seluruh ruangan, mencari di mana
pemuda itu. Nihil.