Jumat, 26 Desember 2014

Bulan Sabit di Malam Natal

Malam natal itu aku tidur lebih awal, sebab esoknya harus bangun paling pagi sebelum yang lainnya. Itu adalah kewajiban yang harus kulakoni sebagai anak perempuan tertua setiap malam natal. Aku harus membangunkan orang tua dan saudara-saudaraku dengan mengenakan baju putih, ikat pinggang merah dan mahkota yang berhiaskan sembilan lilin. Kemudian menyiapkan makanan untuk sarapan bersama dengan bercahayakan lilin.
Aku selalu takjub melihat cahaya lilin. Itu selalu mengingatkanku tentang pengorbanan, dimana lilin merelakan tubuhnya terbakar dan habis demi menerangi dunia. Aku selalu ingin menjadi lilin untuk keluargaku. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan mereka. Tetapi sejak kejadian malam gerimis itu, aku telah habis terbakar dan padam. Aku tidak bisa lagi menerangi kehidupan keluarga. Aku bahkan membawa kegelapan yang tak pernah datang sebelumnya. Akhirnya kuputuskan lebih baik pergi daripada menjadi kabut hitam yang membawa kegelapan. Malam natal ini pun aku sendiri. Tidak ada lilin, api, ataupun penerang dan penghangat lainnya. Yang ada hanya kegelapan yang kukandung.
"Tuhanku Yesus, jadikan dia lahir sebagai cahaya seperti bulan sabit itu bukan seperti lilin yang ketika tubuhnya habis terbakar hanya mendatangkan gelap dan tidak ada lagi cahaya yang dapat diciptakannya." Pintaku pada malam natal berbulan sabit ini dengan menahan sakit di perutku yang besar. Sakit yang teramat sangat. Walau kesendirian ini masih lebih menyakitkan.
Aku benar-benar telah keliru mengidolakan lilin. Karena dengan menjadi sepertinya, kini aku menjadi kegelapan. Kini aku benar-benar memuja bulan. Walau masih sabit, cahayanya mampu menerangi semua belahan dunia.
Tiba-tiba saja seperti ada gelombang besar yang mengamuk di perutku. Sakit. Kemudian kurasakan mulut rahimku terbuka dan gelombang dahsyat itu keluar. Sekejap saja aku melihatnya, cepat-cepat aku menutup mata. Tak percaya tapi sebuah cahaya memang keluar dari perutku.
Aku membuka mata tepat ketika cahaya yang terburai itu menyatu dan membentuk sebuah benda berbentuk sabit. Cahayanya kuning seperti cahaya bulan. Kutengadahkan kepalaku ke atas langit. Kulihat bulan sabit masih ada di atas sana. Lantas apa yang kini melayang tak jauh dariku?
"Aku anakmu ibu. Aku telah lahir seperti yang kau inginkan," ujar cahaya berbentuk bulan sabit itu benar-benar membuatku terperanjat. Cahaya itu bisa bicara dan mengaku sebagai anakku. Rasanya sungguh mustahil. Diam-diam kulirik perutku. Ya Tuhan, perutku memang sudah mengempis.
"Tidak, aku tidak percaya ini!" Kupukul-pukul kepalaku yang sedang tidak beres.
"Ibu, kau tidak suka aku lahir?" tanya cahaya itu kembali menyentakku. Tiba-tiba muncul Santa Claus dengan baju merah bercorak putihnya.
"Santa, kau datang?"
"Dialah anakmu, Clara! Ia telah lahir seperti yang kau inginkan. Ini hadiah natalmu dariku. Selamat merayakan natal!" Santa pun menghilang.
Aku menatap cahaya menyilaukan itu lagi, ia benar-benar menyita perhatian dan kesadaranku. Ia anakku.
"Kemarilah, Anakku! Aku ingin memangkumu," kataku kemudian. Ia telah memenuhi keinginanku, menerangi hidupku yang gelap. Tidak sepantasnya aku mengabaikannya.
"Tidak, Ibu!"
"Kenapa, Nak? Tidak maukah kau berada dalam pangkuanku?"
"Aku ingin sekali, Ibu. Tetapi aku tidak ingin melukai matamu dengan cahayaku yang terlalu menyilaukan untukmu."
"Baiklah aku akan menutup mataku dengan syal ini, Nak. Aku benar-benar ingin memangkumu, memelukmu," ucapku dengan terisak.
Kau anakku, Nak! Kau penerang hidupku yang gelap. Walau cahayamu bisa menyakiti mataku jika kau terlalu dekat denganku, aku tetap ingin kau dekat denganku. Dipangkuanku.

0 komentar:

Posting Komentar