Malam natal itu aku tidur lebih awal, sebab esoknya harus bangun
paling pagi sebelum yang lainnya. Itu adalah kewajiban yang harus
kulakoni sebagai anak perempuan tertua setiap malam natal. Aku harus
membangunkan orang tua dan saudara-saudaraku dengan mengenakan baju
putih, ikat pinggang merah dan mahkota yang berhiaskan sembilan lilin.
Kemudian menyiapkan makanan untuk sarapan bersama dengan bercahayakan
lilin.
Aku selalu takjub melihat cahaya lilin. Itu selalu
mengingatkanku tentang pengorbanan, dimana lilin merelakan tubuhnya
terbakar dan habis demi menerangi dunia. Aku selalu ingin menjadi lilin
untuk keluargaku. Aku akan melakukan apa pun demi kebahagiaan mereka.
Tetapi sejak kejadian malam gerimis itu, aku telah habis terbakar dan
padam. Aku tidak bisa lagi menerangi kehidupan keluarga. Aku bahkan
membawa kegelapan yang tak pernah datang sebelumnya. Akhirnya kuputuskan
lebih baik pergi daripada menjadi kabut hitam yang membawa kegelapan.
Malam natal ini pun aku sendiri. Tidak ada lilin, api, ataupun penerang
dan penghangat lainnya. Yang ada hanya kegelapan yang kukandung.
"Tuhanku Yesus, jadikan dia lahir sebagai cahaya seperti bulan sabit
itu bukan seperti lilin yang ketika tubuhnya habis terbakar hanya
mendatangkan gelap dan tidak ada lagi cahaya yang dapat diciptakannya."
Pintaku pada malam natal berbulan sabit ini dengan menahan sakit di
perutku yang besar. Sakit yang teramat sangat. Walau kesendirian ini
masih lebih menyakitkan.
Aku benar-benar telah keliru
mengidolakan lilin. Karena dengan menjadi sepertinya, kini aku menjadi
kegelapan. Kini aku benar-benar memuja bulan. Walau masih sabit,
cahayanya mampu menerangi semua belahan dunia.
Tiba-tiba saja
seperti ada gelombang besar yang mengamuk di perutku. Sakit. Kemudian
kurasakan mulut rahimku terbuka dan gelombang dahsyat itu keluar.
Sekejap saja aku melihatnya, cepat-cepat aku menutup mata. Tak percaya
tapi sebuah cahaya memang keluar dari perutku.
Aku membuka mata
tepat ketika cahaya yang terburai itu menyatu dan membentuk sebuah benda
berbentuk sabit. Cahayanya kuning seperti cahaya bulan. Kutengadahkan
kepalaku ke atas langit. Kulihat bulan sabit masih ada di atas sana.
Lantas apa yang kini melayang tak jauh dariku?
"Aku anakmu ibu.
Aku telah lahir seperti yang kau inginkan," ujar cahaya berbentuk bulan
sabit itu benar-benar membuatku terperanjat. Cahaya itu bisa bicara dan
mengaku sebagai anakku. Rasanya sungguh mustahil. Diam-diam kulirik
perutku. Ya Tuhan, perutku memang sudah mengempis.
"Tidak, aku tidak percaya ini!" Kupukul-pukul kepalaku yang sedang tidak beres.
"Ibu, kau tidak suka aku lahir?" tanya cahaya itu kembali menyentakku.
Tiba-tiba muncul Santa Claus dengan baju merah bercorak putihnya.
"Santa, kau datang?"
"Dialah anakmu, Clara! Ia telah lahir seperti yang kau inginkan. Ini
hadiah natalmu dariku. Selamat merayakan natal!" Santa pun menghilang.
Aku menatap cahaya menyilaukan itu lagi, ia benar-benar menyita perhatian dan kesadaranku. Ia anakku.
"Kemarilah, Anakku! Aku ingin memangkumu," kataku kemudian. Ia telah
memenuhi keinginanku, menerangi hidupku yang gelap. Tidak sepantasnya
aku mengabaikannya.
"Tidak, Ibu!"
"Kenapa, Nak? Tidak maukah kau berada dalam pangkuanku?"
"Aku ingin sekali, Ibu. Tetapi aku tidak ingin melukai matamu dengan cahayaku yang terlalu menyilaukan untukmu."
"Baiklah aku akan menutup mataku dengan syal ini, Nak. Aku benar-benar ingin memangkumu, memelukmu," ucapku dengan terisak.
Kau anakku, Nak! Kau penerang hidupku yang gelap. Walau cahayamu bisa
menyakiti mataku jika kau terlalu dekat denganku, aku tetap ingin kau
dekat denganku. Dipangkuanku.
Jumat, 26 Desember 2014
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar