Minggu, 14 Desember 2014

Gerimis ini turun untukmu

Dengan senyum yang bertenger di bibirnya, kaifa terus berjalan. Rintik gerimis yang berlahan turun tak menghalanginya untuk melangkah. Bahkan setengah berlari, tak sabar untuk segera tiba ke rumahnya. Untuk mengatakan pada Ardian akan berita gembira yang ia punya. Akhirnya ia bisa mendapatkan juara membaca puisi di sekolahnya. Padahal persaingan terlalu ketat. Tepat saat ia tiba di tempat yang ia tuju, ia melihat sosok yang ingin ia temui sedang asik membaca di kursi ruang tengah.
"Kak Ardian," terik Kaifa sontak membuat pria itu menoleh. Dan begitu mendapati dirinya melangkah mendekat, Ardian segera berdiri. Melepaskan kacamata yang ia kenakan berserta buku yang sedari tadi ia baca. Perhatiannya terjurus lurus kearah Kaifa.
"Kaifa, apa - apaan ini? Kenapa basah - basah begini. Sudah tau gerimis, memangnya tidak bisa menunggu hujan reda terlebih dahulu. Nanti kalau sakit bagaimana?" kata Ardian protektif.
Kaifa hanya nyengir. Sama sekali tidak terpengaruh akan kemarahan kakaknya. Tangannya justru malah mengacungkan piala yang ia bawa. "Kak, liat. Aku juara lomba baca puisi. Juara satu kak. Ya ampun aku seneng banget."
Ardian terdiam. Perhatiannya teralihkan kearah piala yang adiknya bawa. Walau ia masih kesal karena ulah adiknya yang nekat gerimisan, namun rasa kesal itu menghilang ketika melihat senyuman lebar di bibir Kaifa. Tak urung ia ikut tersenyum.
"Sudah kakak duga. Lagian kamukan memang sedari dulu suka puisi. Selamat ya. Adik kakak emang selalu membanggakan," puji Ardian kemudian.
"Padahal saingannya ketat banget lho. Bahkan.... Hatsim," ucapan Kaifa terputus oleh bersin yang tak mampu ia tahan.
"Tuh kan, kamu. Sudah, ganti baju dulu sana. Nanti kamu sakit. Harusnya kan kamu menunggu gerimis itu reda baru pulang. Kenapa harus nekat gitu sih."
"Soalnya aku sudah tidak sabar untuk menunjukan ini pada kakak," balas Kaifa. "Dan aku juga sangat menyukai gerimis," sambungnya lirih. Tadi ia sama sekali tidak merasa keberatan dengan gerimis yang turun. Tapi sekarang, rasa dingin mulai merambati tubuhnya yang memang memiliki daya ketahanan tubuh yang lemah.
"Iya, kakak tau. Sudah, ganti baju sana. Biar kakak bikinkan teh hangat. Dan setelah itu, mari kita makan siang."
Kaifa tidak membalas. Ia hanya mengangguk manut sembari tersenyum tulus pada kakaknya. Satu - satunya keluarga yang ia punya setelah kedua orang tuanya pergi. Ia benar - benar bersukur memiliki kakak terbaik seperti Ardian. Selalu perhatian kepada dirinya, bahkan rela menjadi ayah sekaligus ibu untuknya.
Setelah menganti pakaiannya, Kaifa berniat untuk segera melangkah keluar. Menyusul kakaknya. Namun sebelum itu ia menyempatkan diri untuk melirik bayangannya di cerim. Terlihat pucat. Sesuka apapun ia pada gerimis, rasa itu hanya sepihak. Karena gerimis justru menjadi musuh terbesar bagi tubuhnya. Tak ingin membuat kakaknya merasa khawatir pada dirinya, Kaifa meraih bedak di atas meja dan memoleskan ke wajahnya. Tak lupa ia menambahkan lipsitk untuk menutupi efek pucat di bibirnya.
"Kaifa, bagaimana keadaanmu?" tanya Ardian sambil menyodorkan segelas teh kearah Kaifa yang kini duduk santai di meja makan baru kemudian ia duduk di hadapannya.
"Tenang saja kak, aku baik - baik aja kok," balas Kaifa sambil tersenyum meyakinkan.
Ardian tidak membalas. Sebaliknya matanya mengamati adiknya dengan seksama. Memastikan kondisi gadis itu sendiri. Setelah yakin semuanya baik baik saja ia mengalihkan perhatian pada makanan yang ada di meja. Ia memang sengaja menunggu adiknya pulang untuk makan bersama dari pada makan sendirian walaupun bik yem sudah memasakanya sedari tadi.
"Syukurlah, tapi lain kali pastikan untuk tidak gerimisan lagi. Kamu tau kan kalau kakak khawatir sama kondisi kesehatanmu?"
"Baik kak," angguk Kaifa manut.
"Ya sudah ayo kita makan. Nanti makanannya dingin lagi. Lagi pula bik yem memang sudah sedari tadi memasaknya," ajak Ardian yang lagi lagi di balas anggukan oleh Kaifa.
Waktu terus berlalu, siang itu Kaifa kembali pulang dengan senyum manis yang menghiasai wajahnya. Tak sabar untuk sampai ke rumah. Dan merasa sedikit kecewa ketika kakaknya tidak ada. Ia lupa kalau kakaknya hari ini masih kerja. Setelah berganti baju dan makan siang, ia duduk santai di beranda sambil membaca. Sesekali matanya menatap keluar, langit yang cerah berlahan meredup. Bahkan gerimis mulai turun. Merasa tertarik, Kaifa meletakan buku yang ia baca. Bangkit berdiri ke serambi teras, sebelah tangannya terulur. Menikmati rintik yang langsung turun ke tangannya.
Selalu begitu, alasan kenapa ia begitu menyukai gerimis adalah biasanya secara kebetulan atau memang takdir yang sudah di siapkan untuknya adalah akan selalu ada berita germbira yang menyertainya. Sejak dulu. Ketika ia mendapat rangking di kelas, ketika ia memenangkan lomba, saat merayakan kelulusannya bahkan saat tadi siang guru di sekolah mengatakan kalau ia akan mewakili sekolah untuk ikut dalam lomba puisi antar sekolah, gerimis itu tetap turun. Nilai plus yang ia sukai selain itu adalah, jika beruntung ia akan melihat pelangi setelahnya. Satu - satunya gerimis yang ia benci adalah saat kepergian orang tuanya. Ralat, itu bukan gerimis. Tapi hujan yang menguyur deras, membuat jalanan licin sehingga menyebapkan kecelakaan yang menimpa keduanya.
Tak ingin kenangan buruk merusak rasa bahagia di hati, terlebih ketika ia sangat beruntung memiliki seorang kakak seperti Ardian. Yang begitu dewasa dan selalu menyayanginya, Kaifa segera mengalihkan pemikirannya. Berharap kalau gerimis akan selalu menjadi pertanda baik untuknya. Untuk masa lalu, saat ini dan kedepan nantinya. Suara mobil yang berlahan memasuki pekarangan rumah, menarik perhatian Kaifa. Senyum langsung merekah ketika melihat sosok kakaknya yang berlahan mulai berjalan keluar menghampirinya.
"Kaifa, apa yang kamu lakukan disini. Disini terlalu dingin tau, nanti kalau kamu sakit bagaimana?" kalimat pertama yang meluncur dari mulut Ardian hanya dibalas dengan cibiran adiknya.
"Ck, kakak. Aku nggak selemah itu kali. Lagian aku hanya melihat - lihat. Bukan gerimisan."
Ardian tidak membalas. Kepalanya hanya mengeleng - geleng berlahan, baru kemudian mengajak adiknya untuk masuk kedalam rumah bersama.
"Lagian aku itu nungguin kakak. Soalnya aku punya berita bagus," kata Kaifa tidak sabar.
"Oh ya? Apa?" tanya Ardian sambil melongarkan dasi yang ia kenakan. Matanya menatap penuh kasih kearah adiknya.
"Aku akan mewakili sekolah untuk ikut lomba baca puisi tinggat kabupaten yang akan diadakan minggu depan."
"Tingkat kabupaten? Kalau begitu acaranya tidak disini?" tanya Ardian lagi.
Kaifa menggelang. "Tidak, acaranya akan di adakan di kota. Selama tiga hari. Ya ampun kak, aku seneng banget."
"Tiga hari? Tidak, memangnya siapa nanti yang akan menjaga kamu disana. Kakak nggak ngizinin."
"Tapi kak..."
"Kaifa, kamu masih kecil. Lagi pula kamu tidak pernah pisah dari kakak bahakan selama sehari pun. Bagaimana nanti kamu disana? Siapa yang akan merawatmu?"
"Tapi aku nggak sendirian. Temen ku juga ada yang ikut. Lagi pula gurunya juga," Kaifa mencoba menjelaskan.
"Sekali tidak tetap tidak Kaifa. Kakak nanti pasti akan khawatir sama kamu. Sudah jauh, pake acara menginap lagi."
Kaifa menunduk dalam. Untuk pertama kali dalam hidupnya ia merasa tidak suka dengan sikap protektif Ardian padanya.
"Kamu mengertikan?" tanya Adin lagi.
Kaifa hanya mengangguk. Sebisa mungkin menahan air mata kekecewaan di matanya. Walau ia sangat ingin untuk ikut, ia tetap lebih tidak ingin membantah kakaknya. Terlebih membuatnya mengkhwatirkan dirinya.
"Baik kak. Besok Kaifa akan bilang sama guru kalau Kaifa nggak jadi ikut."
Ardian terdiam. Matanya menatap kearah adiknya yang hanya menundukan kepala melihat kelantai. Sama sekali tidak menoleh kearah dirinya. Ia tau, kalau adiknya pasti kecewa padanya. Sebenarnya ia juga tidak tega, hanya saja ia lebih tidak tega lagi melepaskan adiknya yang masih SMP untuk pergi.
Setelah seminggu berlalu, Ardian menyadari kalau adiknya sekarang sudah terlihat lebih murung. Walau jika di hadapanya gadis itu terlihat seperti baik - baik saja. Tidak pernah menyinggung masalah lomba di sekolahnya, tapi Ardian tau, kalau Kaifa pasti masih kecewa pada dirinya.
Karena itulah, sepulang dari kerja Ardian sengaja mampir untuk membelikan cake coklat kesukaan adiknya. Selama ini jika suasana hati gadis itu buruk, biasanya akan segera membaik setelah memakan cake coklat. Setelah membayar terlebih dahulu, Ardian bergegas melangkah meninggalkan toko. Tepat di tangga untuk berlalu, tak sengaja kakiknya menginjak kulit pisang yang di buang orang kurang ajar dengan sembarangan. Sebisa mungkin mempertahankan diri untuk tidak jatuh terduduk, pada akhirnya Ardian berhasil. Hanya sayangnya, cake yang baru saja ia beli kini sudah jatuh tergeletak di lantai yang kotor.
Merasa ragu untuk segera berlalu, Ardian lebih memilih kembali masuk kedalam toko. Sayangnya, ternyata cake yang ia beli tadi adalah sisa satu - satunya di sore itu. Mengetahui kalau sang adik tidak menyukai rasa lainnya, Ardian memutuskan untuk kembali lagi besok dan segera pulang.
Saat memasuki pekarangan rumahnya, Adin merasa terkejut. Tidak seperti biasanya, terdapat beberapa orang yang sedang berdiri menanti di beranda rumah. Wajahnya terlihat kusut. Entah dapat keyakinan darimana, Ardian merasa firasa buruk menghampirinya.
"Maaf, ada yang bisa di bantu?" tanya Ardian sambil menghampiri.
Beberapa orang tersebut tanpa saling pandang. Baru kemudian balik bertanya. "Maaf apa benar ini rumahnya saudari Kaifa andirani?"
Kepala Ardian mengangguk. "Benar, dia adik saya. Memangnya ada apa dengannya?"
Dan jawaban yang di berikan benar - bener mengejutkan. Cukup untuk membuat Adin merasa kalau dunianya gelap. Ia benar - benar tidak mempercayai itu. Tepatnya ia tidak ingin mempercayainya. Dan berlahan tubuhnya ambruk ketanah bersama kesadaran yang berlahan menghilang seiring dengan orang - orang yang memenggil- manggil namanya.
***
Lama Ardian duduk terdiam disana. Sendiri menatap kearah gundukan tanah baru yang masih basah. Tempat peristirahatan adiknya untuk yang terakhir kali. Tanpa bisa di cegah, air mata terus mengalir di pipinya. Masih tidak bisa percaya kalau Kaifa telah tiada. Sebuah kecelakaan beruntun yang terjadi kemaren telah memisahkan dirinya. Dan menurut saksi mata, kaifa memang sedang melamun saat menyeberangi jalan raya. Entah apa yang ada dalam pikiran gadis kecil itu, tapi Ardian yakin itu mungkin karena dirinya. Tentang rasa keberatan ia untuk kepergian adiknya selama tiga hari yang justru kini malah untuk selamanya.
Dan seolah langit pun ikut bersedih. Cuaca yang awalnya cerah berubah mendung dan berlahan gerimis mulai turun. Hanya gerimis, membuat Ardian berlahan mendongak menatap kelangit sembari bergumam...
"Kaifa, gerimis ini turun untuk mu. Bukan untuk menemani tawa, tapi ikut menangis mengantar kepergianmu. Semoga dirimu tenang disana..."

0 komentar:

Posting Komentar